OPINI PASKAH
“Sunyi-Kosong”, Teologi Paskah Bagi Kehidupan
NARASI tentang Yesus sepertinya telah mendekonstruksi tentang hal “sunyi” dan “kosong”. Turun ke alam maut dalam kesunyian, bukan berarti kebinasaan.
Oleh Denni Pinontoan,
Penulis
NARASI tentang Yesus sepertinya telah mendekonstruksi tentang hal “sunyi” dan “kosong”. Turun ke alam maut dalam kesunyian, bukan berarti kebinasaan. Kubur “kosong” bukan berarti ketiadaan.
Yesus yang berada dalam kesunyian di alam maut, dan kubur yang kosong adalah wacana teologis gereja sepanjang masa. Keduanya menunjuk pada dua hal yang kemudian dikonstruksi sebagai teologi tentang transformasi radikal dari narasi kematian dan kebangkitan Yesus: “Kematian” tidak berarti kesenyapan kekal, dan jasad Yesus yang tidak ditemukan di kubur pada pagi itu, bukan berarti kekosongan harapan.
“Ia tidak ada di sini…”, kata Malaikat kepada para perempuan yang hendak melihat Yesus. Yesus tidak ada di situ, “Sebab ia telah bangkit”.
Kematian Yesus yang historis telah direkonstruksi secara teologis bukan tentang kematian atau kebinasaan kekal, melainkan tentang kehidupan (kebangkitan) abadi. Teologi para penulis Injil yang kemudian menjadi iman sejak gereja perdana ini adalah suatu “perlawanan wacana” terhadap kekuasaan keagamaan yang destruktif dan kekuasaan imperium yang hegemonik. Dua bentuk kekuasaan itu selalu berujung pada kehancuran kehidupan.

Artinya, peristiwa kematian Yesus dan keyakinan terhadap kebangkitan-Nya tidak saja tentang kerohanian yang fatalistis, melainkan terutama tentang pengetahuan dan spiritualitas yang bergerak ke arah transformasi kehidupan yang progresif.
Narasi Yesus yang mati dan bangkit tersebut telah menjadi kepercayaan dan semangat serta perspektif baru bagi komunitas Kristen perdana.
Maka, iman itu memungkinkan komunitas Kristen perdana ini untuk memahami secara berbeda mengenai apa agama itu, dan apa kekuasaan politik itu. Komunitas ini lalu menjadi gerakan pewarta Kerajaan Allah, yang wacana teologisnya adalah tentang Yesus sebagai Tuhan. Mereka sepertinya merasa telah menemukan “jalan kebenaran” baru di dalam Yesus Kristus dan ini memungkinkan komunitas kecil itu untuk memilih jalan berbeda.
Gerakan komunitas Kristen tersebut lalu kemudian menjadi “Gereja” dalam arti persekutuan yang lebih luas. Kini, narasi tentang “sunyi” di dalam maut, dan kubur yang “kosong” adalah konstruksi teologi tentang kehidupan dalam Kerajaan Allah.
Dalam konstruksi teologi kemudian, misalnya kita mengenal apa yang disebut “panggilan bagi setiap orang percaya untuk berpartisipasi dalam upaya transformasi dunia untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan”.
Dalam teologi gereja-gereja di Indonesia yang dirumuskan pada Konsultasi Teologi DGI tahun 1970, itulah yang disebut “pergumulan rangkap”. Ketaatan iman kepada Yesus Kristus (dalam ketritunggalannya”), itulah ‘orthodoxy’, dihayati dan bergerak bersama dalam panggilan untuk memahami dan melakukan aksi-aksi praksis dalam dunia dengan segala dinamikanya, itulah ‘orthopraksis’.
Dengan demikian, gereja yang berpijak pada iman Yesus yang mati dan bangkit, spiritualitasnya mesti terus mengarah pada komitmen untuk mengusahakan kehidupan.
Gereja hadir memberi harapan kehidupan bagi manusia, masyarakat dan dunia yang hampir putus asa karena krisis ekonomi, krisis politik, kerusuhan dan perang karena saling rebut ruang kekuasaan atau karena perbedaan-perbedaan keyakinan.
Gereja mestinya memilih ‘jalan sunyi’ demi komitmennya pada Kebenaran Kerajaan Allah yang menghidupkan di tengah himpitan dan desakan politik praktis yang lebih berorientasi kekuasaan.
Gereja memberi makna kehidupan pada kehidupan yang terasa ‘kosong’ oleh karena ketidakadilan, eksploitasi, ekonomi yang menghisap sumber daya alam dan tenaga manusia demi modal yang terus mengglembung bagi para kapitalis.
Dalam masyarakat yang kapitalistis-politis dan semua ditampilkan serba religius, kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki identitas minor (identitas gender, agama, suku, ras dan kelas sosial) adalah rentan dan rapuh.
Politisasi identitas dominan pada masyarakat seperti ini wujudnya adalah “kuasa” yang meminggirkan dan membuat kelompok dengan identitas minor tersebut menjadi “manusia non hak”, yang setiap saat dapat dengan mudah divonis bersalah oleh kuasa kebenaran dominan. Dalam situasi seperti ini, gereja hadir memberi makna kehidupan bagi kelompok-kelompok yang terpinggir oleh dominasi wacana kebenaran tunggal.
Gereja hadir memberi isi kehidupan untuk mereka yang disingkirkan dalam kesunyian dan kekosongan hak dan harapan.
Teologi Paskah Yesus Kristus yang berulang-ulang dikhotbahkan tidak muncul dalam suatu “kemegahan” dan “keberadaan” kuasa politik imperium. Justru, dalam wacana “kosong” dan “sunyi”, teologi ini dikonstruksi menjadi suatu “daya” untuk menggerakkan kehidupan.
Hal ini sepertinya mesti menjadi “ingatan” bagi institusi gerejawi untuk terus menjadi gerakan bagi kehidupan di jalan “sunyi”, meskipun pundi-pundi derma “kosong”.