Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tribun Manado Travel

Nyeruput Kopi Sambil Belajar Sejarah Petualangan Bangsa Eropa di Pantai Firdaus Kema Minut

Pantai Firdaus di Desa Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahasa Utara.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO/ARTHUR ROMPIS
Pantai Firdaus 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Pantai Firdaus di Desa Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahasa Utara, provinsi Sulut, terus berjuang untuk eksis. 

Sebagai lokasi wisata, pantai itu sudah kehilangan "mahkotanya". 

Air pantai tersebut sudah tak jenih. Meski begitu pemandangannya tetap indah. 

Daya tarik yang tersisa ini coba di maksimalkan.

Sebuah lokasi wisata kuliner kini berdiri di pesisir pantai itu. 

Suasananya sangat santai dan romantis. 

Meja dan kursi ditaruh di atas pasir pantai yang putih. 

Beratapkan langit, ada lampu lampu yang digantung dan tampak indah kala malam hari.

Sambil menyantap menu khas manado, pengunjung bisa menyaksikan pemandangan indah pantai tersebut.

Sesekali ombak sampai ke kaki, membuat celana sedikit basah ; tapi itu asyik. 

Ada satu hal yang unggul dari pantai itu. Yang tak ada di pantai lain. Yakni sejarahnya.

Berada di cafe itu, bukan hanya berada di masa kini.

Tapi juga di masa lalu. Ibarat menikmati pembangunan masa kini sambil belajar ke masa lalu.

Belajar sejarah di pantai itu unik. Belajar bukan dari buku. Tapi dari pasir, air laut, pohon dan udara disana.

Pantai Firdaus punya sejarah panjang. Di sana lokasi tempat para pedagang Yaman singgah. 

Hingga mereka menamakan itu Firdaus yang artinya Surga. 

Kemudian tibalah bangsa Portugis membawa agama Katolik. Misionaris besar Fransiskus Xaverius pernah membaptis orang Kristen pertama di tanah Minahasa disana.

Kema dulunya adalah salah satu pelabuhan utama di wilayah Celebes.

Posisinya yang dekat dengan Maluku yang jadi pusat perdagangan dunia membuat pelabuhan itu menjadi tempat transit para pedagang asing dari Spanyol, Portugis, Arab serta Belanda.

Sembari berdagang di Kema, para pedagang asing ini menikmati pantai keindahan Firdaus.
Ismet Jailani, tokoh masyarakat setempat, mengatakan, para pedagang Yaman dulunya mendirikan kemah di tempat itu sambil menanti waktu berlayar ke Maluku.

"Mereka datang sesudah dagang di Maluku, maksudnya untuk rekreasi. Di mata mereka tempat itu (Pantai Firdaus) sangat indah," kata dia.

Disebutnya, beberapa pedagang tidak meneruskan perjalanan ke tempat asalnya.

"Mereka tinggal, kawin dengan warga sekitar dan membentuk pemukiman. Merekalah cikal bakal Kampung Arab di Manado," kata dia.

Cinta pada Firdaus, ungkap Ismed, menautkan para pedagang Yaman ini dengan warga sekitar.

Mereka berinteraksi dan dari situ bahasa Yaman diadopsi warga sebagaimana halnya bahasa Spanyol, Belanda, Portugis, hingga Prancis.

Konon kata 'Kema' berasal dari 'Kammah', bahasa Arab untuk 'kemah'.

"Jadi kata 'Kema' dimulai dari turisme pedagang Yaman di pantai Firdaus," beber dia

Max Cornelez mantan hukum tua Kema membeber, kedatangan bangsa asing di Kema dimulai dari pelaut Spanyol Ferdinand Magelhaens disusul Bartolomeus Souza dari Portugis.

Kemudian datanglah bangsa Belanda. Dan semenjak politik pintu terbuka oleh VOC masuklah bangsa Eropa.

"Semua terpaut dengan pantai Firdaus," beber dia.

Disebutnya, di masa VOC, pantai itu jadi semacam tempat rekreasi bagi para pembesar Belanda yang sibuk.

Selain mandi, mereka menangkap ikan yang kala itu banyak ditemui di pesisir.

"Kalau jenuh kerja mereka ke pantai ini, mengajak keluarga atau rekan kerja," kata dia.

Dikatakan Cornelez, sejarah Pantai Firdaus bukan hanya berisi para pedagang yang menemukan tempat istirahat, namun juga para musafir yang menemukan jalan kebenaran.

Di tempat itu, kata dia, berabad‑abad yang lalu, Santo Fransiskus Xaverius pernah membaptis warga Kema.

"Merekalah warga Katolik pertama di sini," kata dia.

Tak jauh dari pantai itu, terdapat gereja Katolik pertama di Sulut, hasil dari penginjilan Santo Fransiskus.

Gereja itu kini beralih jadi gereja GMIM seiring dengan beralihnya warga Kema dari Katolik ke Protestan.

Max membeber, memori pembaptisan itu melekat di ingatan warga Kema.

Pantai itu dinamakan Firdaus karena kenangan akan pembaptisan di situ.

"Mereka beranggapan pantai ini adalah berkat, sebagai bukti banyak sekali ikan yang merapat di sini pada waktu tertentu, hal itu terjadi hingga kini," kata dia.

Batu Nona di tanjung dekat pantai itu, ujar dia, memiliki nilai mistis di mata para pelaut zaman dulu.

"Batu itu muncul kala air surut dan hilang saat pasang. Nah, ada mitos bahwa keberuntungan datang pada siapa yang melihat batu itu. Mereka dipercaya akan selamat dalam pelayaran laut," ujar dia.

Nilai teologis yang berawal dari pantai itu kemudian tumbuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada warga yang beragama Kristen sebagai hasil pembaptisan Xaverius dan beragama Muslim sebagai buah karya para pedagang Arab.

"Kami semua bersaudara saling baku sayang. Kami sama sama Indonesia," kata dia. (Art)

Dea OnlyFans Tidak Ditahan Meski Sudah Jadi Tersangka, Ternyata Karena Hal Ini

Kembali Berulah, KKB Papua Serang Pos Marinir di Nduga Pakai Senjata Pelontar Granat, Danpos Gugur

KKB Kembali Berulah 2 Prajurit TNI Meninggal Dunia, Pos Marinir Diserang, 8 Lainnya Luka-luka

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved