Tribun Manado Travel
Jelajah Kuliner Minahasa di Rumah Makan Heng Mien Tepi Jurang Tinoor
Di Jalan Manado-Tomohon, persisnya di Kelurahan Tinoor, Kota Tomohon terkenal dengan keberadaan rumah-rumah makan.
Penulis: Ryo_Noor | Editor: Chintya Rantung
Berada di ketinggian bukit, Rumah makan di Jalan Manado-Tomohon juga menawarkan spot pemandangan Kota Manado dari kejauhan.
Sejarah
Sejak jalan Manado-Tomohon belum diaspal, rumah makan Tinoor sudah eksis. Judi Turambi, peneliti sejarah Tomohon, menungkapkan, rumah makan di Tinoor berkembang dari awalnya hanya gubuk atau dalam bahasa lokal sabuah, kini berkembang menjadi rumah makan besar.
Usaha rumah makan di Tinoor awalnya dirintis oleh Kaes Evenglien Rambing, cucu Hukum Tua Bastian Rambing pada 1927.
Ketika pertama kali dirintis, tempat makan itu baru berbentuk sabuah yang terletak di jalur kiri pinggiran jalan ke arah Manado
Kebanyakan yang singgah makan di sabuah itu para pedagang dari Sonder, Remboken, dan Tomohon. Ketika itu mereka menggunakan roda sapi melintas atau pulang dari Wenang (nama Manado tempo dulu). Mereka kerap singgah di sabuah untuk menyantap menu kawok (tikus kebun), peret (kelelawar), nasi bungkus dan minum saguer (air sadapan pohon aren).
Sumber lain juga menyebut kalau pada zaman Belanda, sebelum tahun 1930, orang Tinoor sudah berjualan makanan. Lokasinya di jalan utama, diyakini jalan dimaksud jalan menuju ke Lotta dan Kali, yakni jalan tangga-tangga.
"Di jalan itu terdapat beberapa sabuah atau terung tempat mereka berjualan," kata Turambi.
Jalan utama yang sekarang Manado-Tomohon dibuka sekitar tahun 1930-an. Dulu juga dikenal ada rumah makan disebut maroda, sebab yang makan disitu hanya mereka yang datang menggunakan roda.
Maroda yakni orang yangg bepergian dengan menggunakan roda yang ditarik sapi atau kuda.
Lanjut Turambi, mereka berasal dari Kinilow, Kakaskasen, Wailan, Kayawu dan Sarongsong. Para maroda singgah beristirahat di Tinoor, sebelum melanjutkan perjalanan untuk berjualan bambu di Manado.
Selain itu, rumah makan maroda sering juga disinggahi penjual periuk, pot bunga dari Desa Remboken dan Desa Pulutan.
"Malam hari mereka turun ke Manado, siang hari mereka kembali singgah di rumah makan, sembari mengistirahatkan sapi atau kuda," sebutnya.
Sekitar tahun 1944 masa penjajahan Jepang, sebuah rumah makan dirintis bernama Rumah Makan Eli Non.
Beda dengan sabuah, bangunannya sudah terbuat dari papan dan beratap seng. Belakangan rumah makan berganti nama menjadi Tambulinas yang artinya "telaga suci".