Sejarah
Akhirnya Pihak Belanda Minta Maaf atas Kekerasan Selama Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949
Seperti yang diketahui Indonesia dulu menjadi jajahan Belanda. Bahkan Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Seperti yang diketahui Indonesia dulu menjadi jajahan Belanda.
Bahkan Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Terkait hal tersebut kini pihak Belanda kini meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan dulu.
Baca juga: Kecelakaan Maut Tadi Pagi, Pengendara Motor Vario Hitam Tewas di TKP, Korban Tertimpa Pohon Kering
Baca juga: Sosok Amar Alfikar, Anak Kiai Jadi Transpria, Dulu Dibully Kini Pamer Prestasi, Kuliah S2 di Inggris
Baca juga: Bocoran Cerita Sinetron Ikatan Cinta Jumat 18 Februari 2022, Andin Kecewa, Aldebaran Tidak Menyerah
Foto : Perdana Menteri Belanda Mark Rutte memberikan pers untuk memperketat pembatasan Covid-19 di Kementerian Kehakiman dan Keamanan di Den Haag, pada 26 November 2021. - Belanda akan memperketat penguncian sebagian Covid-19 dengan penutupan awal bar, restoran, dan toko untuk mengekang lonjakan kasus, Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan pada 26 November 2021. ((Photo by Bart Maat / ANP / AFP) / Netherlands OUT)
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte minta maaf kepada Indonesia atas kekerasan selama Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Kekerasan sistematis dan berlebihan selama masa kolonialisme terungkap dalam sebuah penelitian sejarah yang didanai pemerintah Belanda pada tahun 2017 dan dilakukan oleh akademisi dan pakar dari kedua negara.
Tinjauan sejarah ini dipresentasikan pada Kamis (17/2/2022) di Amsterdam.
Dilansir DW, penyelidikan dari tiga lembaga penelitian sejarah bertentangan dengan pandangan lama pemerintah Den Haag bahwa pasukan Belanda hanya melakukan kekerasan sporadis ketika berusaha mendapatkan kembali kendali atas koloni itu setelah Perang Dunia II.
Studi selama lebih dari empat tahun ini menunjukkan kekejaman hukum Hindia Belanda di Indonesia.
Ditemukan bahwa angkatan bersenjata Belanda melakukan kekerasan ekstrem yang meluas serta disengaja.
"Itu terjadi di setiap tingkatan: politik, militer, dan hukum."
"Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka yang memikul tanggung jawab di pihak Belanda - politisi, pejabat, pegawai negeri, hakim dan lain-lain - memiliki atau dapat memiliki pengetahuan tentang penggunaan sistematis kekerasan ekstrem," kata para peneliti.
"Ada kemauan kolektif untuk membenarkan dan menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan yang lebih tinggi: memenangkan perang," kata mereka.
Kekejaman sistematis itu, kata penelitian, berupa eksekusi di luar hukum, penyiksaan, penahanan dalam kondisi tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian dan perusakan properti dan persediaan makanan, serangan udara tidak proporsional, penembakan altileri, hingga penangkapan dan penahanan massal.