Profil Tokoh
Sosok Yaakov Baruch, Pemimpin Komunitas Yahudi Sulawesi Utara, Tumbuh dari Keluarga Beda Keyakinan
Ketika Yaakov Baruch untuk menganut Yahudi, agama nenek moyangnya, tak ada pertentangan sama sekali dari kedua orangtuanya
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Di hari Sabtu anak-anak ini ikut ayahnya beribadah di Sinagoge. Pada Minggu mereka ikut kakeknya di gereja. Mereka pun belajar Muslim dari mama dan nenek mereka.
Selain ketiga agama ini, dua anak ini juga mendapat pengetahuan agama lainnya di Indonesia seperti Budha Hindu dan Konghucu. Namun keluarga ini tak mengenalkan secara mendalam seperti tiga agama dalam keluarga.
“Dulu keluarga saya malah lebih beragam. Saya punya anak angkat, dia Katolik. Sekarang sudah Sarjana Hukum dan menikah. Waktu saya adopsi, dia dari keluarga tak mampu. Sementara itu, orang yang bantu-bantu di keluarga saya dari Advent,” kata Toar Palilingan.
Dalam setahun ada tiga perayaan besar agama di keluarga ini. Mereka memang tinggal serumah, apalagi Yaakov Baruch memang anak tunggal dari istri pertama Toar Palilingan.
Saat Natal, sanak saudara dan kerabat datang mengunjungi Toar Palilingan.
Saat Idul Fitri, mereka mengunjungi istrinya. Sementara untuk perayaan Yahudi berlangsung di Sinagoge, sehingga tak ada perayaan di rumah tersebut.
Silahturahmi keluarga Toar Palilingan dan almarhum istrinya masih terjalin baik hingga kini.
Lebaran tahun ini keluarga besar ini ramai-ramai mengunjungi keluarga almarhum istrinya di Kotamobagu.
Bagi Toar Palilingan kunci harmonisnya keluarga mereka adalah pemahaman untuk saling mengerti dan memahami perbedaan.
Menurutnya butuh wawasan untuk memiliki cara pandang soal perbedaan, khususnya agama.
Pemahaman itu kemudian menimbulkan kekuataan untuk menjalankan toleransi tak hanya di kulit luar.
Lingkungan keluarga Toar Palilingan ini terdiri dari agama Samawi atau dikenal dengan sebutan agama langit.
Agama ini memiliki definisi akan Tuhan yang jelas, punya penyampai risalah seperti nabi atau rasul dan mempunyai wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam kitab suci.
Kesamaan ini pun membuat Toar Palilingan dan keluarganya tak sulit menemukan banyak titik temu.
Keluarga ini memandang bahwa semua agama mengajarkan hal-hal baik. Mereka pun saling belajar memahami dan menghormati ajaran agama masing-masing.
Tak hanya itu, mereka juga saling mengingatkan dan saling menegur satu dengan lainnya. Misalnya ketika ada konflik agama yang menjadi isu hangat.
Dalam suasana kekeluargaan, pertanyaan sering muncul, “Apa agama kamu memang mengajarkan itu?” Dengan gaya bercanda, namun tetap berisi pesan teguran dan mengingatkan.
“Pertanyaan seperti itu akan ditanggapi berbeda jika disampaikan di luar suasana kekeluargaan. Karena kami sudah saling mengerti sehingga hal seperti itu sering dibawa bercanda,” katanya.
Keluarga Harmonis Berideologi Pancasila
Keluarga Toar Palilingan terkenal sebagai keluarga harmonis. Mereka bergaul baik di lingkungannya. Di mata kerabatnya, keluarga Toar Palilingan adalah keluarga yang benar-benar menerapkan prinsip ke-Indonesia-an.
Profesor Ferdinand Kerebungu, sosiolog asal Universitas Negeri Manado mengaku sejak pertama ia kenal dengan Toar Palilingan dan keluarganya, ia sudah tahu kalau mereka dari keluarga yang berbeda agama.
“Sebenarnya di Manado banyak yang berbeda agama, hanya saja keluarga Toar Palilingan ini ada tiga agama. Keluarga mereka harmonis sejak dulu. Kalau misalnya tak akur, pas Toar Palilingan tahu anaknya masuk Yahudi, dia bisa saja mengusir anaknya. Tapi sampai sekarang mereka aman-aman saja, tetap satu rumah,” ujarnya kepada Tribunmanado.co.id, Jumat (16/11/2018).
Kerebungu menganalisa kunci sukses dari harmonisnya sebuah keluarga yakni bagaimana anggota keluarga saling memahami status, saling komunikasi dengan baik dan memahami keyakinan masing-masing. Jika hal ini sudah terjadi dalam keluarga, perbedaan tak akan jadi masalah.
“Keluarga Toar Palilingan sudah melakukan itu. Dalam sebuah rumah tangga ada proses komunikasi dan saling mengerti,” ujarnya.
Permasalahan malah datang dari luar lingkungan keluarga. Masyarakat memandang kondisi keluarga yang berbeda agama dari kacamata pribadi, bukan dalam konteks ke-Indonesiaan.
Padahal banyak masyarakat yang menikah beda agama sudah berkomitmen sejak awal. “Beda halnya ketika hanya berpura-pura, awalnya ikut salah satu pihak, pada akhirnya kembali ke agama masing-masing,” jelasnya.
Psikolog Jansen Mawitjere mengatakan aturan main dalam keluarga diciptakan oleh suami dan istri, sebagai perpaduan dua insan. Pasangan ini kemudian menciptakan komitmen dan aturan-aturan yang berlangsung secara berkesinambungan pada turunan selanjutnya. Itu pula yang dilakukan oleh keluarga Toar Palilingan, yang menghidupkan Pancasila dalam keluarganya.
“Orangtua sebagai role model. Suami istri membentuk komitmen dengan penyatuan secara emosional. Proses perkembangan itu akan terlihat ketika hadir anak di tengah keluarga. Dalam proses perkembangannya bagaimana suami dan istri memberi dampak positif pada anak maupun lingkungan keluarga,” ujarnya.
Pancasila sebagai ideologi negara membebaskan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun justru aturan lainnya tak membolehkan pernikahan beda agama.
Menurut Jansen ini membentuk standar ganda dalam aturan di Indonesia. Selain itu budaya di tengah masyarakat juga terbentuk dengan batasan-batasan ganda.
“Budaya yang berkembang adalah budaya yang tak taat Pancasila. Ada banyak standar ganda. Orangtua misalnya, selalu membatasi anak-anak agar jangan pindah keyakinan. Seakan-akan ketika pindah agama, selalu berdampak negatif. Selalu menekankan banyak konsekuensi negatif, ketika anak berusaha untuk berbeda. Padahal Undang-undang telah menjamin hak
untuk memeluk agama,” ujarnya.
Sifat anak umumnya mencerminkan kedua orangtuanya. Anak memasuki masa kritis pada awal duduk di Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak, motivasi ini tak berdiri sendiri karena ada dorongan untuk berkembang. Apa yang diketahui anak akan menjadi bahan untuk mengkritisi situasi yang ada.
“Kemudian di tingkat kenyamanan, ketika memilih keyakinan karena ada proses rasa sayang. Secara dasar aturan, tak ada larangan untuk memeluk agama apapun, tapi budaya yang membentuk itu. Apapun agamamu, harus taat Pancasila sebagai ideologi negara,” jelasnya. (tribunmanado.co.id/finneke wolajan)