Profil Tokoh
Sosok Yaakov Baruch, Pemimpin Komunitas Yahudi Sulawesi Utara, Tumbuh dari Keluarga Beda Keyakinan
Ketika Yaakov Baruch untuk menganut Yahudi, agama nenek moyangnya, tak ada pertentangan sama sekali dari kedua orangtuanya
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
TRIBUNMANADO.CO.ID - Museum Holocaust pertama di Indonesia sekaligus di Asia Tenggara dibangun pada Kamis (27/1/2022) bertepatan dengan Peringatan Hari Holocaust Internasional
Museum ini berada di Sinagoge Shaar Hashamayim yang dalam bahasa Ibrani berarti Gerbang Surga, yang berlokasi di Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Sinagoge adalah tempat ibadah orang Yahudi, layaknya gereja, masjid, vihara, pura, kuil dan lain sebagainya.
Belakangan, museum ini menjadi polemik karena mendapat kecaman dari sejumlah pihak.
Pemimpin Komunitas Yahudi Sulawesi Utara, Yaakov Baruch mengatakan tujuan pembangunan museum ini untuk menunjukan kepada masyarakat Indonesia yang masih menyangkal dengan keberadaan Holocaust, bahwa ini pernah terjadi.
Duta Besar Luar Biasa Jerman untuk Indonesia, Ms Ina Lepel dan Charge d' Affaires Kedutaan Besar Austria untuk Indonesia, Mr Philipp Rossl, Bupati Minahasa Bupati Minahasa Royke Octavian Roring dan Wakil Bupati Robby Dondokambey saat meresmikan Museum Holocaust di Sinagoge Shaar Hashamayim (HO)
"Kenapa harus diperingati? Karena segala macam bentuk pembantai, kebencian dan rasisme itu tidak bisa benar.
Entah itu kebencian terhadap orang Yahudi, islam, kristen dan agama lain itu tidak benar. Dan itu harus diperangi karena itu musuh kita bersama, baik rasisme atau kebencian," jelas Rabi Yaakov Baruch.
Pembangunan Museum Holocaust ini untuk mengedukasi masyarakat Indonesia supaya tidak ada lagi hidup dalam sekat-sekat.
"Kiranya sekat-sekat ini bisa dihancurkan dan kita hidup bersama dalam lingkar Negara Kesatuan Republik Indonesia," harapnya.
Kemudian, dia menjelaskan bahwa Museum Holocaust ini satu-satunya di Asia Tenggara dan kedua di Asia.
"Museum ini dirancang untuk permanen, dan akan diisi dengan barang material yang lebih dari sekedar gambar. Dan dikemudian hari kita akan isi dengan barang-barang artefak bersejarah yang terikat dengan Holocaust.
Seperti Gulungan Toubat yang selamat dari Holocaust, Piyama orang Yahudi, seragam Nazi dan barang bersejarah lainnya, untuk ditunjukkan bahwa Holocaust ini pernah terjadi. Dan itu fakta bukan hoax," katanya.
Diketahui Sinagoge Shaar Hashamayim berdiri sejak tahun 2004 di kota kecil nan sejuk, Tondano, ibu kota Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulut.
Komunitas Yahudi Sulawesi Utara menjalankan kepercayaan mereka dengan aman dan damai.
Sulawesi Utara memang dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi toleransi.
Sosok Yaakov Baruch Pemimpin Komunitas Yahudi Sulawesi Utara
Yaakov Baruch, pemimpin Komunitas Yahudi Sulawesi Utara (Hindustan Times)
Komunitas Yahudi Sulawesi Utara dipimpin seorang rabi bernama Yaakov Baruch (39).
Yaakov Baruch lahir dan besar dari keluarga berbeda agama. Sejak kecil kedua orangtuanya telah menanamkan nilai-nilai agama padanya.
Ayahnya adalah seorang Kristen Protestan dan almarhum ibunya adalah seorang Muslim.
Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup di keluarga yang berbeda keyakinan, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.
Ketika Yaakov Baruch untuk menganut Yahudi, agama nenek moyangnya, tak ada pertentangan sama sekali dari kedua orangtuanya. “Tak ada masalah, kami bisa saling menerima,” ujarnya kepada tribunmanado.co.id, pada 2018 lalu.
Yaakov Baruch memutuskan menganut Yahudi setelah nenek sebelah ibunya memberitahunya bahwa ia memiliki keturunan Yahudi.
Saat itu dirinya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Yaakov Baruch kemudian menelusuri silsilah keluarganya dan mendapati benar ia punya keturunan Yahudi.
Kakek buyutdari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda.
Dalam perjalanan ke Belanda, Israel bahkan Australia, ia mendapati bahwa moyangnya itu adalah penganut Yahudi Ortodoks.
Yaakov Baruch di Sinagoga Shaar Hashamayim. Foto diambil tahun 2018 (Tribunmanado/Finneke Wolajan)
Namun sudah sejak lama keluarga ibunya berpindah dari agama Yahudi.
Yaakov Baruch kemudian mendalami Yahudi di Singapura dan memutuskan untuk memimpin Sinagoge di Sulawesi Utara.
Ayah Yaakov Baruch sebenarnya juga punya darah Yahudi. Hanya saja ayahnya tak punya dokumen lengkap silsilah keluarga.
Dalam kesehariannya Yaakov Baruch adalah dosen hukum di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado. Ayahnya, almarhum ibunya dan ibu tirinya juga adalah dosen hukum di fakultas yang sama dengan Yaakov Baruch. Selain dosen, Yaakov Baruch juga adalah seorang fotografer yang memiliki nama besar di Manado.
Tanamkan Nilai Agama Sejak Kecil
Toar Palilingan, sang ayah tak kaget saat tahu anak semata wayangnya memutuskan untuk menganut ajaran Yahudi.
Sebab sudah sejak awal keluarga ini tak mempermasalahkan perbedaan agama. Yaakov Baruch yang hidup dari ayah Kristen dan ibu Muslim mendapat ajaran dua agama ini.
Toar Palilingan dan almarhum istrinya menanamkan nilai-nilai agama yang baik pada Yaakov Baruch sejak kecil.
Betapa jahatnya orangtua jika menanamkan sikap sinisme pada anaknya. Orang-orang pada waktu itu mungkin berprasangka kalau dia memiliki dua kepribadian karena perbedaan agama orangtua,” ujarnya saat diwawancarai Tribunmanado.co.id, awal November 2018 di ruang kerjanya.
Sebagai orangtua Toar Palilingan berkewajiban menyiapkan pemondokan, menyekolahkan, hingga memenuhi kebutuhan Yaakov Baruch.
Selanjutnya sebagai orangtua Toar Palilingan tak bisa mengatur pikiran anaknya.
Yaakov Baruch di Sinagoga Shaar Hashamayim. Foto diambil tahun 2018 (Tribunmanado/Finneke Wolajan)
Lagipula Toar Palilingan dan istrinya menilai anak mereka Yaakov Baruch melakukan hal yang positif, mencari Tuhan dengan jalan spiritualnya sendiri.
“Undang-undang mengatur secara detail tentang hak asasi manusia dalam memeluk agama. Dengan perspektif itu kami hidup dengan pemaknaan itu. Namun bukan semata-mata sebagai orangtua kami lepas kendali. Dia kan saat itu juga tak meminta untuk menjadi penjahat,” katanya.
Seperti ajaran yang ia tanamkan ke Yaakov Baruch, hal yang sama juga berlaku untuk generasi selanjutnya, yakni dua cucunya, anak Yaakov Baruch.
Cucu pertama Toar Palilingan sudah mulai mengerti, ia pun banyak bertanya soal agama pada kakek, nenek, serta ibu dan ayahnya.
“Saya sudah beberapa kali bertanya pada cucu saya soal agama. Saya sengaja menguji kepekaannya. Dan dia tak mau komen sama sekali soal agama. Dia sudah mulai mengerti. Kalau adiknya memang masih terlalu kecil,” ujarnya.
Di hari Sabtu anak-anak ini ikut ayahnya beribadah di Sinagoge. Pada Minggu mereka ikut kakeknya di gereja. Mereka pun belajar Muslim dari mama dan nenek mereka.
Selain ketiga agama ini, dua anak ini juga mendapat pengetahuan agama lainnya di Indonesia seperti Budha Hindu dan Konghucu. Namun keluarga ini tak mengenalkan secara mendalam seperti tiga agama dalam keluarga.
“Dulu keluarga saya malah lebih beragam. Saya punya anak angkat, dia Katolik. Sekarang sudah Sarjana Hukum dan menikah. Waktu saya adopsi, dia dari keluarga tak mampu. Sementara itu, orang yang bantu-bantu di keluarga saya dari Advent,” kata Toar Palilingan.
Dalam setahun ada tiga perayaan besar agama di keluarga ini. Mereka memang tinggal serumah, apalagi Yaakov Baruch memang anak tunggal dari istri pertama Toar Palilingan.
Saat Natal, sanak saudara dan kerabat datang mengunjungi Toar Palilingan.
Saat Idul Fitri, mereka mengunjungi istrinya. Sementara untuk perayaan Yahudi berlangsung di Sinagoge, sehingga tak ada perayaan di rumah tersebut.
Silahturahmi keluarga Toar Palilingan dan almarhum istrinya masih terjalin baik hingga kini.
Lebaran tahun ini keluarga besar ini ramai-ramai mengunjungi keluarga almarhum istrinya di Kotamobagu.
Bagi Toar Palilingan kunci harmonisnya keluarga mereka adalah pemahaman untuk saling mengerti dan memahami perbedaan.
Menurutnya butuh wawasan untuk memiliki cara pandang soal perbedaan, khususnya agama.
Pemahaman itu kemudian menimbulkan kekuataan untuk menjalankan toleransi tak hanya di kulit luar.
Lingkungan keluarga Toar Palilingan ini terdiri dari agama Samawi atau dikenal dengan sebutan agama langit.
Agama ini memiliki definisi akan Tuhan yang jelas, punya penyampai risalah seperti nabi atau rasul dan mempunyai wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam kitab suci.
Kesamaan ini pun membuat Toar Palilingan dan keluarganya tak sulit menemukan banyak titik temu.
Keluarga ini memandang bahwa semua agama mengajarkan hal-hal baik. Mereka pun saling belajar memahami dan menghormati ajaran agama masing-masing.
Tak hanya itu, mereka juga saling mengingatkan dan saling menegur satu dengan lainnya. Misalnya ketika ada konflik agama yang menjadi isu hangat.
Dalam suasana kekeluargaan, pertanyaan sering muncul, “Apa agama kamu memang mengajarkan itu?” Dengan gaya bercanda, namun tetap berisi pesan teguran dan mengingatkan.
“Pertanyaan seperti itu akan ditanggapi berbeda jika disampaikan di luar suasana kekeluargaan. Karena kami sudah saling mengerti sehingga hal seperti itu sering dibawa bercanda,” katanya.
Keluarga Harmonis Berideologi Pancasila
Keluarga Toar Palilingan terkenal sebagai keluarga harmonis. Mereka bergaul baik di lingkungannya. Di mata kerabatnya, keluarga Toar Palilingan adalah keluarga yang benar-benar menerapkan prinsip ke-Indonesia-an.
Profesor Ferdinand Kerebungu, sosiolog asal Universitas Negeri Manado mengaku sejak pertama ia kenal dengan Toar Palilingan dan keluarganya, ia sudah tahu kalau mereka dari keluarga yang berbeda agama.
“Sebenarnya di Manado banyak yang berbeda agama, hanya saja keluarga Toar Palilingan ini ada tiga agama. Keluarga mereka harmonis sejak dulu. Kalau misalnya tak akur, pas Toar Palilingan tahu anaknya masuk Yahudi, dia bisa saja mengusir anaknya. Tapi sampai sekarang mereka aman-aman saja, tetap satu rumah,” ujarnya kepada Tribunmanado.co.id, Jumat (16/11/2018).
Kerebungu menganalisa kunci sukses dari harmonisnya sebuah keluarga yakni bagaimana anggota keluarga saling memahami status, saling komunikasi dengan baik dan memahami keyakinan masing-masing. Jika hal ini sudah terjadi dalam keluarga, perbedaan tak akan jadi masalah.
“Keluarga Toar Palilingan sudah melakukan itu. Dalam sebuah rumah tangga ada proses komunikasi dan saling mengerti,” ujarnya.
Permasalahan malah datang dari luar lingkungan keluarga. Masyarakat memandang kondisi keluarga yang berbeda agama dari kacamata pribadi, bukan dalam konteks ke-Indonesiaan.
Padahal banyak masyarakat yang menikah beda agama sudah berkomitmen sejak awal. “Beda halnya ketika hanya berpura-pura, awalnya ikut salah satu pihak, pada akhirnya kembali ke agama masing-masing,” jelasnya.
Psikolog Jansen Mawitjere mengatakan aturan main dalam keluarga diciptakan oleh suami dan istri, sebagai perpaduan dua insan. Pasangan ini kemudian menciptakan komitmen dan aturan-aturan yang berlangsung secara berkesinambungan pada turunan selanjutnya. Itu pula yang dilakukan oleh keluarga Toar Palilingan, yang menghidupkan Pancasila dalam keluarganya.
“Orangtua sebagai role model. Suami istri membentuk komitmen dengan penyatuan secara emosional. Proses perkembangan itu akan terlihat ketika hadir anak di tengah keluarga. Dalam proses perkembangannya bagaimana suami dan istri memberi dampak positif pada anak maupun lingkungan keluarga,” ujarnya.
Pancasila sebagai ideologi negara membebaskan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun justru aturan lainnya tak membolehkan pernikahan beda agama.
Menurut Jansen ini membentuk standar ganda dalam aturan di Indonesia. Selain itu budaya di tengah masyarakat juga terbentuk dengan batasan-batasan ganda.
“Budaya yang berkembang adalah budaya yang tak taat Pancasila. Ada banyak standar ganda. Orangtua misalnya, selalu membatasi anak-anak agar jangan pindah keyakinan. Seakan-akan ketika pindah agama, selalu berdampak negatif. Selalu menekankan banyak konsekuensi negatif, ketika anak berusaha untuk berbeda. Padahal Undang-undang telah menjamin hak
untuk memeluk agama,” ujarnya.
Sifat anak umumnya mencerminkan kedua orangtuanya. Anak memasuki masa kritis pada awal duduk di Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak, motivasi ini tak berdiri sendiri karena ada dorongan untuk berkembang. Apa yang diketahui anak akan menjadi bahan untuk mengkritisi situasi yang ada.
“Kemudian di tingkat kenyamanan, ketika memilih keyakinan karena ada proses rasa sayang. Secara dasar aturan, tak ada larangan untuk memeluk agama apapun, tapi budaya yang membentuk itu. Apapun agamamu, harus taat Pancasila sebagai ideologi negara,” jelasnya. (tribunmanado.co.id/finneke wolajan)