Berita Nasional
Masih Kenal Yusril Ihza Mahendra? Ketum PBB Tuding Pemerintah Sembunyikan Data Covid: Bisa Digoreng
Yusril mengingatkan pentingnya batas waktu merapikan data kematian korban Covid-19 yang simpang siur.
PBB sendiri dideklarasikan di halaman Masjid Al-Ahzar Kebayoran Baru, Jakarta dan didukung oleh beberapa ormas Islam tingkat nasional seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), serta masih banyak ormas-ormas yang lainnya.
Dalam pergerakannya, PBB mengadopsi marwah Partai Islam Masyumi di era Presiden Sukarno.
Yusril Ihza Mahendra nyaris menjadi presiden dalam siding MPR tahun 1999. Maju sebagai calon presiden, Yusril Ihza Mahendra berhasil meraup 232 suara.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri dengan 305 suara dan Abdurrahman Wahid memperoleh 185 suara.
Peluangnya terbuka lebar, namun poros ketika yang terdiri dari PBB, PAN, PKB, dan Golkar justru memilih Abdurrahman Wahid yang lolos ke putaran kedua melawan Megawati.
Kendati gagal meraih kursi nomor satu di Indonesia, namun Yusril Ihza Mahendra sempat dipercaya menjadi Menteri di 3 kabinet.
Saat masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra dipercaya memegang jabatan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Ketika Presiden Megawati menggantikan Abdurrahman Wahid, Yusril juga masih dipercaya menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Kemudian ketika masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Yusril Ihza Mahendra dipercaya untuk memegang amanah sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).
Sayangnya perkembangan PBB, partai yang ia dirikan tidak secemerlang karier pribadinya.
Dalam dua Pemilihan Legislatif terakhir (2009 dan 2014), PBB gagal mendapat kursi di senayan.
Bahkan pada pemilihan legislatif 2019, suara PBB hanya mencapai 0,79 persen sehingga dipastikan kembali gagal mengirimkan wakilnya ke senayan karena batas parlementary threshold adalah 4 persen.
Karier Yusril Ihza Mahendra di dunia politik juga terkenal kontroversial karena keberpihakan politisnya.
Pada Pemilihan Presiden 2014, Yusril Ihza Mahendra merupakan saksi ahli pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dalam persidangan di MK.
Saat itu pasangan Prabowo – Hatta Rajasa tidak terima dengan hasil pilpres yang memenangkan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Saat itu, Yusril Ihza Mahendra meminta kepada MK agar tidak menjadi lembaha kalkulator yang berpatokan pada perhitungan angka-angka hasil pemilu.
Menurutnya MK harus memainkan peran yang lebih substansial dalam menangani perselisihan hasil pemilihan umum.
Namun pada akhirnya MK menolak gugatan Prabowo – Hatta dan tetap menetapkan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilu.
Selama masa kepemimpinan Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra juga dikenal cukup kritis dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada tahun 2015, Yusril menjadi pengacara Aburizal Bakrie untuk melawan salah satu pembantu Jokowi, Yasonna H Laoly dalam sengketa internal Partai Golkar.
Yusril Ihza Mahendra kembali berhadapan dengan pemerintah Joko Widodo ketika pemerintah membubarkan ormas Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017.
Yusril Ihza Mahendra pun menjadi pengacara pihak HTI. Yusril menegaskan bahwa ia akan membela siapapun dan kelompok manapun yang ditindas oleh penguasa dengan cara sewenang-wenang.
HTI sendiri dibubarkan oleh pemerintah karena dianggap tidak sesuai dengan ideologi Pancasila.
Yusril Ihza Mahendra dan timnya kemudian menggugat keputusan Menteri Hukum dan HAM yang telah membubarkan HTI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun setahun berikutnya PTUN memutuskan untuk menolak gugatan tersebut.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Yusril: Harus Ada Tenggat Waktu Pemerintah Rapikan Data Kematian Akibat Covid-19