Berita Nasional
Kejagung Bantah Tuduhan MAKI, Tegaskan Pinangki Sudah Tidak Lagi Digaji
Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak menegaskan, Pinangki sudah tak terima gaji sejak September 2020.
Leonard mengungkapkan, Pinangki diberhentikan sementara dari jabatatannya sejak 12 Agustus 2020. Ia pun membantah selama ini Pinangki masih tetap menerima gaji.
Menurutnya, Pinangki sudah tidak menerima gaji sejak September 2020.
"Sedangkan tunjangan kinerja dan uang makan juga sudah tidak diterima lagi oleh yang bersangkutan sejak Agustus 2020," tuturnya.
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak Kejaksaan Agung segera memberhentikan secara tidak hormat terhadap Pinangki.
Sebab, putusan atas Pinangki sudah berkekuatan hukum tetap dan telah dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Tangerang, Banten.
"Saya berharap dengan inkrahnya kasus Pinangki dan sudah dilakukan eksekusi, otomatis ini harus segera dilakukan pemberhentian tidak hormat terhadap jaksa Pinangki," ujar Boyamin, saat dihubungi.
Menurut Boyamin, Kejagung hanya perlu berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk memproses pemecatan Pinangki.
Ia pun menyinggung soal masih diberikannya gaji untuk Pinangki meski hanya 50 persen.
"Jangan sampai uang negara malah untuk memberikan gaji kepada orang yang sudah dieksekusi, apalagi kasusnya korupsi," ujarnya.
Dia mengatakan, jika Kejagung terus mengulur-ulur waktu, dugaan adanya keistimewaan terhadap Pinangki bisa jadi benar. Selain itu, Kejagung patut diduga melanggar aturan.
Terkait gaji Pinangki, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung sebelumnya, Hari Setiyono, mengatakan Pinangki menerima 50 persen gaji setelah diberhentikan sementara.
Pemecatan dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Apabila ada masalah hukum maka diberhentikan sementara dari jabatan pegawai negeri sipil, gajinya tinggal 50 persen," kata Hari, 19 Agustus 2020.
Pinangki terbukti melakukan tiga tindak pidana sekaligus. Pertama, menerima suap sebesar Rp 500 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.
Kedua, melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dolar AS atau senilai Rp 5,25 miliar.