Sosok Tokoh
Sosok Indra Darmawan, Sarjana MIPA yang Jadi Pemulung, Sempat Mengecewakan Ibu Sampai Raih Kalpataru
Yayasan yang didirikan dan dipimpinnya, Bening Saguling Foundation meraih Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan.
“Butuh waktu 5 tahun untuk meyakinkan Ibu,” tambah dia.
Baca juga: Berikut Tips Cara Membuat Kaldu Ayam Spesial, Cocok Disajikan Saat Musim Hujan Bersama Keluarga
Koperasi hingga sekolah alam
Lama-kelamaan, banyak orang yang mengikuti jejak Indra menjadi pemulung.
Dari pemulung biasa, Indra pun menjadi koordinator pemulung. Kemudian ia membuat mesin pencacah sampah dan tempat untuk pengolahan sampah menjadi lebih berdaya guna.
“Saat ini ada 70 pemulung yang dibina. Mereka memulung sampah di Citarum dengan menggunakan 30 perahu yang kami miliki,” ucap Ayah dari tiga orang anak ini.
Hasil yang diperoleh pemulung beragam. Musim hujan seperti sekarang, pemulung rata-rata memulung 70-150 kilogram sampah per hari.
Sampah tersebut dihargai Rp 1.300 - Rp 1.500 per kilogram.
“Pandemi corona membuat harga jual sampah turun, pendapatan pemulung terkikis 50 persen,” tambah dia.
Untuk menambah penghasilan, para pemulung bertani. Sedangkan para istri mereka mengerjakan kerajinan eceng gondok.
Ternyata, kerajinan ini sangat membantu mereka di masa pandemi.
Komunitasnya dari tahun ke tahun semakin besar, hingga pada 2009, Indra mendirikan koperasi bernama Bangkit Bersama yang menaungi seratusan anggota.
Langkah besar kembali diambil Indra. Pada 2016, ia menginisiasi pendirian sekolah alam bernama Tunas Inspiratif.
Bersama sang istri, Tati Mulyati, ia melibatkan sejumlah tenaga pendidik membuka TK dan baru 2 tahun ini membuka SMP.
Murid dari sekolahnya didominasi anak pemulung.
Mereka sekolah dari Senin hingga Jumat secara gratis. Untuk anak yatim, sekolah akan memberikan uang jajan.
Indra mengaku sengaja fokus pada pendidikan. Sebab, ia meyakini, yang bisa mengluarkan anak-anak tersebut dari kemiskinan adalah pendidikan.
“Kalau dulu ada kisah, Indra dari sarjana jadi pemulung. Nanti akan ada kisah, anak-anak pemulung jadi sarjana. Itu mimpi saya,” ungkap dia.
Sekolah alam dipilih, karena Indra ingin mengembangkan pendidikan dengan alam, bukan dengan gawai.
Materi pembelajaran misalnya bagaimana menerjemahkan matematika terhadap alam dan lingkungan.
Lewat sekolah ini, ia pun mengubah pola pikir mencari kerja menjadi pencipta lapangan pekerjaan.
Untuk ke depannya, ia masih memiliki sejumlah impian. Salah satu di antaranya mengubah lahan seluas 1 hektare tersebut menjadi kawasan ekowisata.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Sarjana MIPA yang Jadi Pemulung, Mengecewakan Ibu hingga Raih Kalpataru