Masyarakat Adat
UU Omnibus Law Rampas Wilayah Adat di Tengah Ketidakpastian Pengesahan RUU Masyarakat Adat
RUU Masyarakat Adat sudah dua periode DPR RI dibahas, namun gagal sampai tahap pengesahan
Ini dibuktikan dengan hapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan lokal Masyarakat Adat.
Penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan kearifan lokal dan budayanya dalam mengelola wilayah adat.
Penghapusan pengecualian tersebut jelas merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (3).
2. Sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh UU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan Kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk Masyarakat Adat.
Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus.
Memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah adat:
1. Memang ada klausul yang menyatakan bahwa Izin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika telah ada persetujuan antara Masyarakat Adat dan investasi.
Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan Masyarakat Adat kembali diserahkan kepada kebijakan sektoral (Kemen LHK, Kemen ATR, KKP, Kemendagri yang berbelit- belit, sangat sektoral, dan saling mengeliminasi.
2. Dengan demikian, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi. Ini diatur misalnya di Pasal 22 (Isu Kelautan).
Anehnya, UU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administrative bagi pemanfaatan usaha di Laut tanpa ijin usaha (Pasal 16A).
Meningkatkan Ancaman Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat:
1. Di dalam Pasal 69, UU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi Masyarakat Adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Dari data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi Masyarakat Adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus.
Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 Tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan.
Artinya UU Cipta kerja dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia Masyarakat Adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrument hukum nasional dan internasional.