Tajuk Tamu
Malik Fajar dan Golok Munir
Di awal 1980an ucapan-ucapan tokoh-tokoh Mesir, Pakistan dan Iran beredar luas di kalangan aktifis mahasiswa serius seperti Munir dalam bentuk buku.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
"Tapi Saudara sebagai mahasiswa, sebagai intelektual, tidak sepantasnya memperjuangkan hal itu dengan membawa golok ke mana-mana," kata guru yang lugas itu.
"Berjuang itu dengan ilmu pengetahuan yang Saudara pelajari dengan tekun. Kok bawa-bawa golok? Siapa sebetulnya yang mau Saudara bacok?"
Munir tergagap, meringis dan malu. Sejak itu ia mulai merenungkan kembali semua tindakan dan pikiran yang membuatnya merasa wajib menyiapkan golok yang siap dihunus setiap saat.
And the rest is history. Munir dengan cepat bertransformasi menjadi aktifis pejuang kemanusiaan yang hebat, menjadi salah satu yang paling mengagumkan dalam sejarah Indonesia.
Menjadi salah satu pemicu terkuat gerakan Reformasi 1998, Munir kemudian berakhir tragis, lebih dari enam tahun setelah Reformasi.
Sejumlah pengecut yang tak bermalu dan bermartabat membubuhi racun sianida pada piring mi goreng yang dipesannya di atas pesawat menuju Amsterdam, ketika ia sedang berikhtiar melanjutkan sekolah di Negeri Belanda -- seakan memenuhi janji yang tak sempat diucapkannya kepada Pak Guru Malik.
***
Munir pastilah hanya salah satu orang yang diinspirasi oleh Malik Fajar, yang kemudian menjadi Menteri Agama (di era Presiden Habibie) dan Menteri Pendidikan Nasional (di kabinet Presiden Megawati).
Semua orang yang mengenalnya bersaksi bahwa Malik adalah pendidik sejati; ia mendapat gelar master dalam ilmu pendidikan dari Universitas Negeri Florida, Amerika Serikat.
"Selama sepuluh tahun bekerja sama di Pengurus Pusat Muhammadiyah, saya banyak belajar dari beliau," kata Dr. Rizal Sukma, mantan duta besar RI di Inggris.
Terhadap perserikatan itu, Malik seolah mengamalkan harfiah petuah pendirinya, KH Achmad Dahlan: hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan engkau mencari penghidupan di Muhammadiyah. Dalam ungkapan Dr. Sukidi Mulyadi, pakar kajian agama yang baru menyelesaikan studi di Universitas Harvard: "Pak Malik memberikan segalanya untuk Muhammadiyah. Beliau tidak pernah mencari penghidupan di sana."
Saya sendiri tak sempat dekat dengan tokoh yang memikat ini, meski mengenalnya sejak 1987 di Jogja, kampung halamannya.
Kesan saya: Pak Malik adalah orang jujur yang selalu bersikap apa adanya. Ia tak pernah berbasa-basi dengan memamerkan kerendah-hatian palsu.
Ia bicara dengan ringkas, padat. Lugas dan langsung ke pokok masalah -- ciri yang menonjol pada orang yang tak menyimpan agenda terselubung. Dengan sikap dasar itu, ia menjalani hidup dengan ringan.
Ia seorang visioner sosial yang selalu berusaha keras memberikan yang terbaik, di mana pun ia ditugaskan.