Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

AS Borong Remdesivir Obat Covid-19: Tiap Paket Dibandrol Rp 45 Juta

Pemerintah Amerika Serikat telah memborong hampir semua pasokan obat remdesivir untuk pasar global.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
memegenerator.net
DONALD Trump, Presiden Amerika Serikat 

TRIBUNMANADO.CO.ID, WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat telah memborong hampir semua pasokan obat remdesivir untuk pasar global.  Oleh pihak berwenang di AS, obat produksi Gilead Sciences itu merupakan obat pertama yang diperbolehkan untuk dipakai merawat pasien Covid-19.

Idham: Waspadai Isu Liar Pergantian Kapolri

"Presiden Trump telah membuat kesepakatan menakjubkan guna memastikan warga Amerika punya akses pada obat pertama yang diotorisasi untuk Covid-19," kata Menteri Kesehatan AS, Alex Azar, dalam laman resmi Departemen Kesehatan (Depkes) AS, Selasa (30/6).

Disebutkan laman tersebut,  Depkes AS telah mengamankan 500 ribu paket obat remdesivir untuk  rumah sakit di AS sampai September mendatang.  Jumlah itu mencakup 100 persen produksi Gilead pada Juli, 90 persen produksi Agustus, dan 90 persen produksi pada September.

Sebagai gambaran, satu paket obat remdesivir rata-rata meliputi 6,25 ampul. Gilead Sciences mengumumkan harga remdesivir, pada Senin (29/6).  Untuk negara-negara kaya, satu paket obat tersebut dibanderol 2.340 dolar AS atau hampir Rp 39 juta.

Bagi pasien di AS yang menggunakan asuransi komersial, Gilead menghargai 3.120 dolar per paket atau sekitar Rp45 juta. Itu artinya satu ampul dibanderol 520 dolar alias Rp7,5 juta. Dalam surat terbukanya, Direktur Eksekutif Gilead, Daniel O'Day, mengatakan harga tersebut jauh di bawah manfaat yang diberikan remdesivir mengingat seorang pasien dapat memperpendek rawat inap di rumah sakit AS sehingga bisa menghemat 12 ribu dolar atau Rp 173,6 juta.

Remdesivir kini sedang diuji coba untuk pengobatan Covid-19.
Remdesivir kini sedang diuji coba untuk pengobatan Covid-19. (POOL/REUTERS)

Namun sebagian kalangan berkeras biaya remdesivir seharusnya bisa lebih rendah karena obat itu dikembangkan dengan sokongan keuangan dari pemerintah AS.  Lloyd Dogget, anggota DPR AS dari Partai Demokrat yang mewakili Negara Bagian Texas, mengatakan, "Harganya keterlaluan untuk obat yang sangat sederhana dan yang diselamatkan dari tumpukan kegagalan, menggunakan pendanaan dari uang rakyat."

Kegagalan yang dimaksud Dogget adalah remdesivir tidak mampu mengobati pasien Ebola. Seorang ilmuwan terkemuka Inggris mengatakan kerangka kerja yang lebih kuat harus dibuat demi memastikan harga dan akses yang adil pada obat-obatan ketika darurat nasional terjadi.

Gugus Tugas Rapid Test 29.995 Orang: Total 1.129 Kasus Covid

Prof Peter Horby dari Universitas Oxford mengatakan kepada BBC  kurang lebih sudah diperkirakan  Gilead, yang merupakan perusahaan asal AS, akan menghadapi  tekanan politik tertentu di ranah lokal. "Ini memunculkan dua pertanyaan penting,  berapa harga yang adil untuk obat dan seperti apa akses yang adil untuk obat? Itu adalah topik yang umum tapi sangat penting dalam krisis global seperti sekarang," katanya.

Pertanyaan juga muncul jika vaksin Covid-19 ditemukan. "Perusahaan-perusahaan komersial dibentuk untuk bersikap seperti ini dan kita perlu kerangka kerja yang lebih kuat jika ingin mengembangkan hal seperti ini yang digunakan untuk darurat nasional."

Walau AS telah memborong remdesivir, Korea Selatan dilaporkan mampu memperoleh obat tersebut dan mulai membagikannya kepada rumah sakit. Pasokan obat remdesivir yang diperoleh Korsel adalah hasil sumbangan Gilead Sciences.

Korsel pun tengah merundingkan pembelian obat tersebut dengan Gilead, kata Pusat Pengendalian Penyakit Korea. "Pasien yang dapat diberikan remdesivir terbatas pada pasien kasus berat dengan pneumonia dan memerlukan terapi oksigen," sebut lembaga itu.

Pandemi Virus Corona Tak Kurangi Produktivitas Guru MIN 1 Bolsel

Sebelumnya, regulator Inggris mengatakan ada cukup bukti untuk menyetujui penggunaannya pada pasien Covid-19. Data awal menunjukkan obat itu dapat mengurangi waktu pemulihan sekira empat hari, tetapi belum ada bukti obat itu akan menyelamatkan lebih banyak nyawa. (bbc)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved