Kilas Balik
Soeharto Pernah Ditampar Panglima Berdarah Minahasa, Dianggap Melakukan Kesalahan Fatal
Panglima militer berdarah Minahasa, Sulawesi Utara, yang pernah menampar Soeharto adalah Alex Evert Kawilarang.
Sebagai Panglima Divisi Siliwangi ia terjun langsung dalam penumpasan gerombolan Darul Islam pimpinan Karto Suwiryo.
Alex Kawilarang diangkat sebagai Atase Militer di KBRI Washington hingga tahun 1957.
Ia selanjutnya mengajukan pengunduran diri karena tidak setuju dengan kebijaksanaan pemerintah pusat dalam menangani kasus Permesta.
Sejak saat itu namanya sering dicantumkan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang PRRI/Permesta.
Latihan Khusus Pasukan Baret Merah
Mengenal lebih dalam pasukan kopassus, mungkin banyak orang bertanya-tanya seperti apa latihan para prajurit baret merah ini
Sebagai pasukan khusus, tentunya latihan prajurit Kopassus agak 'berbeda' dan memang dilatih secara khusus di beberapa bidang tertentu.
Latihan prajurit Kopassus sempat diceritakan oleh mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dalam bukunya yang berjudul 'Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan'
Dalam buku biografinya, Pramono Edhie Wibowo yang juga pernah bertugas di krops baret merah itu menceritakan latihan terberat prajurit Kopassus sudah menanti saat sampai di Cilacap.
Ini merupakan latihan tahap ketiga yang disebut latihan Tahap Rawa Laut, calon prajurit komando berinfliltrasi melalui rawa laut.

Di sini, materi latihan meliputi navigasi Laut, Survival laut, Pelolosan, Renang ponco dan pendaratan menggunakan perahu karet.
Para prajurit Kopassus harus mampu berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.
Baca: BPJS Kesehatan KC Tondano Siap Bayar Klaim Hutang Ke Pihak Rumah Sakit
“Latihan di Nusakambangan merupakan latihan tahap akhir, oleh karena itu ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka. Yang paling berat, materi latihan ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’,” tulis Pramono dalam bukunya
Dalam latihan itu, para calon prajurit Kopassus dilepas tanpa bekal pada pagi hari, dan paling lambat pukul 10 malam sudah harus sampai di suatu titik tertentu.
Selama “pelolosan”, calon prajurit Kopassus harus menghindari segala macam rintangan alam maupun tembakan dari musuh yang mengejar.
Dalam pelolosan itu, kalau ada prajurit yang tertangkap maka berarti itu merupakan 'neraka' baginya karena dia akan diinterogasi seperti dalam perang.
Para pelatih yang berperan sebagai musuh akan menyiksa prajurit malang itu untuk mendapatkan informasi.
Dalam kondisi seperti itu, para prajurit Kopassus harus mampu mengatasi penderitaan, tidak boleh membocorkan informasi yang dimilikinya.
Untuk siswa yang tidak tertangkap bukan berarti mereka lolos dari neraka.
Pada akhirnya, mereka pun harus kembali ke kamp untuk menjalani siksaan.
Selama tiga hari pra prajurit Kopassus menjalani latihan di kamp tawanan.
Dalam kamp tawanan ini semua prajurit Kopassus akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati daya tahan manusia.
“Dalam Konvensi Jenewa, tawanan perang dilarang disiksa. Namun, para calon prajurit Komando itu dilatih untuk menghadapi hal terburuk di medan operasi. Sehingga bila suatu saat seorang prajurit komando di perlakukan tidak manusiawi oleh musuh yang melanggar konvensi Jenewa, mereka sudah siap menghadapinya,” tulis Pramono Edhie.
Beratnya persyaratan untuk menjadi prajurit kopassus dapat dilihat dari standar calon untuk bisa mengikuti pelatihan.
Nilai standar fisik untuk prajurit nonkomando adalah 61, namun harus mengikuti tes prajurit komando, nilainya minimal harus 70.
Begitu juga kemampuan menembak dan berenang nonstop sejauh 2000 meter.
“Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando. Peserta yang gagal akan dikembalikan ke kesatuan Awal untuk kembali bertugas sebagai Prajurit biasa,” tutup mantan Danjen Kopassus ini.
(Surya.co.id/Putra Dewangga Candra Seta)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Sosok Pendiri Kopassus yang Dikabarkan Pernah Tampar Soeharto Muda, Punya Banyak Pengalaman Tempur