Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Mutiara Ramadan

Ibadah: Antara Logika Manusia dan Nalar Kenabian

Bahkan sedekah merupakan amal jariyah yang pahalanya mengalir meskipun orang yang bersedekah sudah wafat.

Editor: Charles Komaling
Istimewa
Dr Sofyan AP Kau, Pengajar IAIN Sultan Amai Gorontalo 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sekali waktu sahabat Nabi Sa'ad ibn Waqqash bertanya kepada Rasulullah Saw '"Wahai Rasulullah, saya seorang yang kaya, tetapi tidak mempunyai ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Bolehkah aku bersedekah dua per tiga dari hartaku? Nabi saw menjawab, "Tidak!,".

Aku bertanya lagi, "bagaimana kalau aku bersedekah setengah dari hartaku?". Nabi Saw menjawab, "Tidak!". Aku bertanya lagi, `'bagaimana kalau sepertiga dari hartaku?''.

Nabi Saw menjawab: "Boleh, sepertiga cukup banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain'' (HR Muttafaqun `alaihi).

Riwayat ini mengajarkan kepada kita tentang cara beragama yang benar, yaitu tidak egoistik dalam ketaatan beragama, sehingga ketaatan tersebut membawa derita bagi orang lain. Bersedekah adalah baik.

Bahkan sedekah merupakan amal jariyah yang pahalanya mengalir meskipun orang yang bersedekah sudah wafat. Ketika masih hidup, sedekah akan memberi manfaat kepada pemberi sedekah berupa diperpanjang usia, dan dijauhkan dari bencana. Apalagi yang disedekahkan dua per tiga dari harta yang dimiliki.

Demikian menurut logika manusia. Tetapi logika manusia ini - yang dalam konteks hadis ini diwakili oleh Sa'ad ibn Waqqash- dikoreksi oleh logika kenabian. Bahwa cara beragama demikian tidak benar. Ketidakbenaran tersebut bukan pada pemberian sedekahnya, melainkan pada sikap egoisitik.

Yaitu lebih mementingkan kebaikan atas diri sendiri daripada mewujudkan kebaikan yang lebih besar untuk orang lain. Dalam konteks hadis di atas, pengabaian tersebut ditunjukkan dengan meninggalkan sedikit harta atas ahli waris. Tegasnya sikap individualistik dalam beragama bertentangan dengan prinsip keislaman.

Dikatakan individualistik, karena -seperti yang ditanyakan Sa'ad ibn Abi Waqashsh di atas- terkesan pemberian sedekah dua per tiga atau setengah dari harta kekayaan lebih mengedepankan kesalehan pribadi, tetapi disisi lain mengabaikan kesejahteraan ahli waris.

Karena itu, kita bisa menyatakan bahwa setiap pelaksanaan ibadah ritual yang tidak membawa kebaikan dan kesejahteraan orang lain, niscaya ibadah tersebut tidak bermakna atau kehilangan makna.
Bukankah dalam hadis disebutkan bahwa Nabi Saw pernah diberi tahu tentang seorang wanita yang rajin salat malam, tetapi sering pula mengganggu tetangganya dengan lisannya.

Atas kondisi cara beragama wanita  tersebut, Nabi Saw. berkata: "Wanita itu berada di neraka". Dengan demikian, sebuah ibadah apa pun bentuknya sejatinya memperhatikan aspek kemanusiaan. Kesejahteraan dan keselamatan manusia harus didahulukan daripada meraih pahala untuk diri sendiri.

Dalam konteks ini, kita menjadi mudah memahami fatwa dan taushiyah MUI tentang beribadah di rumah saja selama masa pandemic covid-19 baik salat jama'ah lima waktu, salat jum'ah dan tarawih.

Setiap salat berjamaah pasti terjadi kerumunan; sedangkan kerumunan berpotensi penyebaran virus corona. Jika terjadi penyebaran, maka itu berarti kita telah menjangkiti orang lain.

Saya tidak menyatakan, siapa pun yang telah menjangkitkan penyakit adalah berdosa, tetapi yang pasti orang yang terjangkiti niscaya menderita. Tidak saja penderitaan fisik karena harus dikarantina, tetapi juga psikis akibat stigma negatif atas corona.

Padahal Nabi Saw pernah mengingatkan tentang identitas kesejatian seorang muslim, yaitu orang lain yang selamat dan aman dari perlilaku lisan dan tangannya (man salima min lisânihi wa yadihi). Bukankah penyebaran virus terjadi karena kontak fisik seperti berjabatan tangan (min yadihi) dan juga melalui mulut (min lisâni).

Dari sini jika kita berenung ternyata beragama yang benar dalam perspektif kenabian (berdasarkan hadis di atas) adalah beragama yang bermuara pada keselamatan manusia; bukan semata-mata keselamatan individu.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved