Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hari Kartini 2020

RA Kartini Menulis, Maria Walanda Maramis Menulis dan Dirikan PIKAT, 22 April Hari Wafatnya

Kesetaraan gender sungguh sangat penting, tapi jauh lebih penting menyadari peran Ibu mengasuh anak bangsa ini.

Penulis: Aldi Ponge | Editor: Aldi Ponge
ISTIMEWA
RA Kartini dan Maria Walanda Maramis 

TRIBUNMANADO.CO.ID - 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasanya memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan atau emansipasi wanita.

Kartini memang dikenal sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia.

Atas keputusan ayahnya, meski dirinya menentang poligami, RA Kartini harus terseret dalam derita poligami dengan menjadi istri ke-4 Bupati Jepara.

Kartini pun harus mengambil jalan lain yaitu menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat.

RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang bernama Adipati Djojoadiningrat saat usianya 24 tahun.

Ia pun menuliskan beberapa surat tentang cinta pada sahabatnya.

Kartini sering berkorespondensi dengan teman-temannya di luar negeri, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh Abendanon dan diterbitkan sebagai buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kartini meninggal di usia 25 tahun yakni 17 September 1904, setelah melahirkan seorang anak laki-laki.

Setelah meninggal dunia, Mr JH Abendanon yang merupakan sahabatnya Kartini, mengumpulkan surat-surat yang Kartini kirimkan.

Mr JH Abendanon kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis tot Licht" yang pertama kali diterbitkan pada 1911.

Pada 1922 buku tersebut terbit dalam bahasa melayu yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" diterbitkan Balai Pustaka.

Walanda Menggugat Kartini

Ternyata perjuangan tokoh asal Sulawesi Utara Maria Walanda Maramis dianggap jauh lebih besar dari RA Kartini untuk kemerdekaan kamu perempuan.

Tribun Manado pernah memuat artikel tajuk tamu berjudul "Walanda Menggugat Kartini" tulisan Fotografer, Denny SE Taroreh yang diunggah pada Kamis, 21 April 2016 silam.

Simak tulisan lengkapnya perbandingan perjuangan Maria Walanda Maramis dan RA Kartini di bawah ini:

Hari ini 21 April, seperti hari yg sama ditahun-tahun sebelumnya. Indonesia selalu memperingati Hari Kartini.

Hari untuk mengingatkan kita bahwa perempuan harus disejajarkan dengan laki-laki. 

Kartini, kala masa hidupnya, mengguggat diskriminasi perempuan Jawa (dianggap Indonesia), menggugat keterkekangan dan keterbelakangan, melalui korespondensi dengan sahabatnya di Nederlande.

Di belahan bumi lain, ada sosok bernama Maria Walanda yang juga memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan dengan pena.

Tulisan-tulisan Maria Walanda ini diterbitkan dalam artikel opini dalam koran lokal kala itu Tjahaya Siang.

Disamping itu, karya nyata terkait kesetaraan gender dibentuknya Percintaan Ibu Kepada Anak Temunrunya (PIKAT).

Pokok pikiran dari berdirinya PIKAT yaitu pentingnya kedudukan ibu dalam keluarga, mengasuh anak, menjaga kesehatan anggota keluarga lainnya.

Walanda Maramis berpandangan bahwa ibu adalah pendidik awal dari anak-anaknya.

Melalui PIKAT, Walanda Maramis menyiapkan perempuan, ibu-ibu untuk menjadi pengasuh anak dengan bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup.

R.A Kartini dilahirkan pada 21 April 1879, sementara Walanda Maramis wafat pada 22 April 1924 .

Mereka memulai perjuangannya dengan menulis. Kartini hanya menulis dan menulis. Walanda Maramis menulis dan mendirikan PIKAT dan sekolah.

Mungkin, akan lebih baik 21 April diperingati sebagai Hari Perempuan dibanding peringatan yang seperti hari ini.

Semangat yang diperjuangkan Walanda Maramis sungguh sangat penting untuk mempersiapkan generasi-generasi baru bangsa ini.

Kesetaraan gender sungguh sangat penting, tapi jauh lebih penting menyadari peran Ibu mengasuh anak bangsa ini.

Maria Walanda Maramis, Sang Ibu Sejati Indonesia asal Sulut

Pahlawan asal Sulawesi Utara yang bernama lengkap Maria Josephine Catherina Maramis Lahir 1 Desember 1872.

Untuk mengenang jasanya, nama Maria Walanda Maramis pun diabadikan sebagai nama sebuah jalan.

Di Manado, Dibangun Patungnya dan ada sebuah nama Jalan Maria Walanda Maramis.

Maria Walanda Maramis dikenal sebagai pahlawan yang berusaha memajukan keadaan wanita di Indonesia pada awal abad ke-20.

Sayangnya, masih banyak tak mengenal sosok tante tokoh Nasional AA Maramis ini.

Bahkan siswa sekolah-sekolah di tanah kelahirnya pun nyaris tak ada yang mengetahui 1 Desember merupakan hari kelahiran Maria Walanda Maramis sekaligius hari perempuan Minahasa.

Berikut fakta tentang Maria Walanda Maramis yang dihimpun dari wikipedia dan dokumen tribunmanado.co.id: 

1. Lahir di Kema, Dimakamkan di Maumbi

Maria Walanda Maramis memiliki nama lahir Maria Josephine Catherine Maramis dan lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872.

Maria Walanda Maramis menghembuskan napas terakhir di di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada usia 51 tahun.

Maria Walanda Maramis jadi Pahlawan Nasional karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Lahir Maria Walanda Maramis yang dianggap sebagai sosok pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi  perempuan di dunia politik dan pendidikan.

Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria Walanda Maramis ditahbiskan sebagai salah satu perempuan  teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan  sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".

Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Maria Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat Kota Manado yang dapat ditempuh menggunakan angkutan darat.

Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini.

2. Bibi AA Maramis

Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu.

Maria Walanda Maramis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara di mana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries.

Andries Maramis adalah ayah dari Alexander Andries Maramis yang terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan  Indonesia pada mulanya.

3. Yatim Piatu Usia 6 Tahun

Maria Walanda Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat.

Paman Maria Walanda Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana.

Maria Walanda Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi.

Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah.

Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maria Walanda Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.

Maria Walanda Maramis memperoleh ketrampilan dari Pendeta orang Belanda yang tinggal di Maumbi.

"Jadi makam ini bertempat di Maumbi, karena suaminya orang Maumbi. Ibu Maria Walanda Maramis ini orang asli Kema. Ketika lahir sekitar 6 tahun ayah dan ibunya meninggal kemudian diasuh oleh kakak dari ibundanya. Walanda itu marga suaminya," turunan Maria Walanda Maramis, Dra Anatje Maramis, mantan Hukum Tua Desa Maumbi beberapa tahun silam

4. Miliki 4 Anak

Maria Walanda Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890.

Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis.

Mereka mempunyai tiga anak perempuan.

Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi (Jakarta).

Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama  ibunya.

"Setelah dia dewasa menikah dengan suaminya. Kemudian dikaruniai empat orang anak, 3 putri dan 1 putra. Memperoleh ketrampilan dari Pendeta orang Belanda yang tinggal di sini. Ketika meninggal, ia dimakamkan di pekuburan umum desa Maumbi. Gubernur Rantung dicari kemudian dikembalikna ke tempat ini," tutur turunan Maria Walanda Maramis, Dra Anatje Maramis, mantan Hukum Tua Desa Maumbi beberapa waktu lalu.

5. Hak Pilihan Wanita di Minahasa

Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad.

Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tetapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya.

Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tetapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan 
tersebut.

Usahanya berhasil pada tahun 1921 di mana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.

6. Dorongan Bumi Minahasa

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terbagi banyak klan (walak) yang berada dalam proses ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan kolonial Hindia Belanda.

Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda mengadakan perubahan birokrasi dengan mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di bawah 
kuasa soerang residen.

Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal mengalir deras, dan kota-kota 
lain tumbuh seperti Tondano, Tomohon, Kakaskasen, Sonder, Romboken, Kawangkoan, dan Langowan.

7. Mendirikan PIKAT

Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang.

Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya.

Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.

Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917.

Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.

Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling.

Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya

Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.

Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.  (Aldiponge/wikipedia/dok.tribunmanado)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved