Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Dr Robby I Chandra: Hidup Harus Berdampak

Orang yang berdampak akan diingat bukan karena uang, nama, dan prestasi, melainkan karena peduli dan care terhadap sesama dengan tulus ikhlas.

Editor: Sigit Sugiharto
istimewa
Dr Robby I Chandra pernah beberapa kali mendaki Gunung Himalaya. 

Oleh: Basuki

Di bidang kepemimpinan, nama Dr. Robby I. Chandra jelas tak perlu diragukan kiprahnya. Mantan dosen luar biasa di Universitas Indonesia dan pernah mengajar di University of Oregon ini, selain dikenal sebagai penulis produktif, juga seorang praktisi kepemimpinan andal. Lewat program pelatihan pemimpin abad XXI, ia tidak saja berhasil menelurkan 800-an kader, tetapi juga 50 lebih di antaranya sukses menjadi pemimpin di berbagai universitas, perusahaan dan gerakan filantropism bahkan gereja.

“Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, waktu SMP saya sering menjadi korban perundungan. Lantaran berkulit lebih gelap, saya sering mendapatkan perlakuan rasis dari murid-murid lain yang sama-sama peranakan Tionghoa. Tidak hanya itu, saya pun banyak mengalami perisakan berkait latar ekonomi dan ayah yang waktu itu mendekam dipenjara,” ujar pria yang sempat aktif sebagai faculty member di Institut Manajemen Prasetia Mulya ini mengenang masa remajanya.

Untunglah, di tengah hidup dengan kekurangan dana dan suasana sekolah yang menekan, pada suatu hari, Ibu Leimena, guru SMP-nya menyapa lembut. “Robby, Ibu perhatikan kamu gemar sekali menggambar. Gambarmu bagus. Ibu sangat suka. Bolehkah Ibu minta tolong dibuatkan sebuah kartu Natal?”

Permintaan sederhana dari seorang guru Budi Pekerti ini langsung disanggupi. Hatinya girang bukan kepalang. Ia merasa talentanya dihargai. Perkataan guru yang hanya sekilas itu, benar-benar bertuah. Menjadi titik balik bagi seorang remaja yang merasa hidup dalam kelam. Ia tidak hanya membubul hatinya yang sedang terluka, tapi menjelma menjadi lawatan bermakna. Robby seolah terlecut untuk makin tekun mengasah bakatnya. Goresan-goresan kuas Robby kian hari kian berkembang. Bahkan, berkat kata-kata prasaja gurunya, kelak karya-karya lukisnya tersebar di Indonesia dan luar negeri.

Selain Ibu Leimena, suami Julia Suleeman, Ph.D. ini mengaku, dalam perjalanan hidupnya, ada satu lagi guru yang memberi pengaruh istimewa. Namanya Pak Yo Pek Sin. Pak Yo, demikian Robby dan teman-teman di SMPK 2 Penabur 2 Jalan Pembangungan III Jakarta biasa memanggil, sejatinya hanya guru infal. Tapi sembari menunggu berangkat ke Amerika, Pak Yo bersedia mengabdikan dirinya menjadi guru agama.

Sore itu, saat pelajaran tengah berlangsung, Pak Yo dengan suara tenang berkata, “Mungkin kalian tidak mengira. Keputusan saya menjadi guru agama bukanlah sebuah keputusan tanpa histori. Ada seseorang yang memiliki peran penting sehingga tekad ini kokoh terpancang. Beliau membuka kesadaran saya bahwa hidup tidak melulu tentang diri sendiri. Manusia yang sangat menginspirasi ini, orang yang padanya Bapak sungguh berhutang, beliau adalah guru Sekolah Minggu Bapak.”

Dr Robby I Chandra: Hidup kita harus memberi dampak.
Dr Robby I Chandra: Hidup kita harus memberi dampak. (istimewa)

Seperti sudah diduga, mendengar kesaksian Pak Yo, anak-anak langsung memperhatikan dan terlihat makin antusias. Kemudian setelah jeda sejenak, dengan nada retorik Pak Yo menutup kisahnya, “Tahukah kamu, siapa guru Sekolah Minggu yang sangat berjasa itu? Beliau tak lain dan tak bukan adalah Ibu dari teman kalian, Robby!”

Mendengar nama Robby disebut, anak-anak ternganga. Mungkin mereka tidak mengira, jika si Kulit Gelap yang sering dirisak ternyata memiliki ibu yang luar biasa. Robby sendiri juga terperanjat. “Saat itu saya merasa di-wongke, dimanusiakan,” ujar pria yang pernah beberapa kali mendaki pegunungan Himalaya ini penuh syukur.

Perasaan dihargai membuat Robby makin percaya diri. Ia ternyata memiliki orang tua yang berdampak. Sejak itu ia makin giat belajar. Tidak hanya materi pelajaran di sekolah, pria kelahiran Jakarta, 11 Oktober 1953 ini juga tekun mempelajari berbagai bahasa asing. Berkat kerja kerasnya, ia cukup fasih berbahasa Inggris dan Jerman, dan secukupnya memahami bahasa Jepang dan Mandarin,

HIDUP YANG BERDAMPAK

Merasa diberi anugerah karena dipertemukan dengan sosok semacam Ibu Leimena dan Pak Yo, dua guru BPK Penabur dan beberapa yang lain, Robby mengingatkan bahwa hidup kita pun mestinya juga memberi dampak. Orang yang membawa dampak akan menjadi orang yang terus diingat. “Orang yang memberi dampak diingat bukan karena mereka berhasil meraup uang, nama, prestasi dan sebagainya, tetapi karena mereka memberikan kepedulian atau care pada sesama disertai ketulusan,” jelasnya.

Rohaniwan yang memiliki banyak anak asuh dan pernah melayani Badan Bina Pengerja GKI SW Jabar ini menjelaskan, untuk menjadi berkat, kita tidak harus menunggu menjadi kaya atau memiliki kedudukan tinggi. Dalam situasi dan kondisi apa pun, jika bersedia dipakai Sang Khalik sebagaimana anak kecil dalam kisah “Lima Roti dan Dua Ikan”, kita pun bisa menjadi sarana berkat. “Kita tidak pernah kenal siapa nama anak ini. Ia tidak memiliki status yang penting. Namun pemberiannya kepada Tuhan Yesus membuat anak yang biasa ini menghasilkan berkat yang luar biasa. Bayangkan, karena kerelaan hatinya menyerahkan bekal ikan dan rotinya yang hanya sedikit, Tuhan mengizinkan terjadinya suatu mukjizat. Kebutuhan makan 5.000 orang terpenuhi, bahkan masih tersisa potongan-potongan roti sebanyak dua belas bakul,” tandasnya.

Robby meyakini kebaikan yang dilakukan dengan tulus ikhlas pasti berdampak. Seperti air, saat dialirkan ia juga akan menyemai berbagai laku kerahiman lain. Ia mencontohkan, kerelaan hati dari seorang anak kecil tak bernama dalam Alkitab itu ternyata terus menginspirasi begitu banyak orang hingga kini, termasuk Ken Horne dan Ray Buchanan. Pada 1979 kedua pendeta Gereja United Methodist di Amerika ini tergerak untuk mendirikan Komunitas St. Andrew karena melihat bejibun orang hidup tanpa makanan yang memadai.

Dimulai dari sebuah ladang pertanian di Big Island, Virginia, secara bertahap Ken dan Ray menginspirasi lebih dari 12.000 orang untuk bergabung mencari jalan keluar mengatasi masalah kelaparan. “Bertolak dari hati yang tergerak untuk menolong sesama, komunitas yang digagas Ken dan Ray berhasil mendistribusikan lebih dari 300 juta kilogram kentang dan bahan makanan lain kepada orang miskin,” tuturnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved