Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kecewa Vonis Kasus First Travel: Begini Penjelasan Jaksa Agung

Putusan Mahkamah Agung (MA) menyangkut barang bukti kasus penipuan First Travel, perusahaan perjalanan umroh

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D
Jaksa Agung ST Burhanuddin Sindir Anggotanya yang Menyimpang, Tak Ada Ampun bagi Pencela hingga Pemeras 

"Mengapa dalam kasus First Travel tidak. Bukankah Lapindo, Bank Century, maupun First Travel adalah sama-sama perusahaan dan sama-sama terdapat korban, bahkan dalam kasus First Travel korbannya lebih masif," tambahnya.

Jika Kajari tidak ingin ribut dan konflik, seperti yang dikatakannya, menurut kuasa hukum seharusnya berupaya mencari solusi agar uang korban yang disetor ke First Travel sebanyak Rp 900 milliar bisa kembali. Bisa juga jemaah yang jumlahnya sekitar 63 ribu orang dapat diberangkatkan umroh.

Atau setidaknya, uang dari hasil lelang yang dilakukan jaksa sebagai eksekutor negara dibagikan pada para korban. "Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 589 Tahun 2017 pada intinya menyebutkan uang jamaah wajib dikembalikan dan atau jamaah diberangkatkan ke Tanah Suci untuk umroh," katanya.

Kuasa hukum berpendapat, apabila proses dan pelaksanaan lelang tetap dilanjutkan dan hasil lelang diserahkan kepada negara, negara wajib memberangkatkan korban yang gagal umroh.

Penyitaan Aset First Travel Membingungkan

Eksekusi putusan pengadilan terkait pengambilan aset First Travel oleh negara ramai diperbincangkan. Pasalnya, aset First Travel yang notabene berasal dari uang para korban justru diputuskan dirampas oleh negara berdasarkan putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018.

Menanggapi hal itu, pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengaku bingung dengan putusan tersebut. Yenti menilai, sebenarnya yang paling berhak atas aset tersebut adalah para korban. ”Uang itu uang siapa? Uang negara atau uang swasta atau masyarakat atau perorangan? Kalau uang negara kembali ke negara, kalau bukan uang negara yang harus ke pemilik awalnya,” kata Yenti, Sabtu (16/11).

Dosen hukum pidana bidang ekonomi dan tindak pidana khusus Fakultas Hukum Trisakti itu mengatakan, keputusan merampas aset First Travel untuk negara itu dilematis mengingat jumlah korban yang begitu banyak. Menurut Yenti, perampasan aset dilakukan karena merupakan hasil tindak pidana pencucian uang atau aliran hasil kejahatan. Jika proses sudah selesai, menurut Yenti, seharusnya dikembalikan sesuai Pasal 46 KUHP. Namun, hal itu kembali lagi berdasarkan putusan pengadilan.

"Hanya memang harus ada mekanisme untuk memastikan bahwa mengingat hasil kejahatan itu ada yang berupa aset juga,” kata doktor pertama di Indonesia dalam bidang pencucian uang itu. ”Maka harus dipikirkan bagaimana pengelolaan aset tersebut, seperti lelang dan sebagainya, untuk memastikan para korban calon jemaah bisa mendapatkan haknya secara proporsional, mengingat jumlah korban juga banyak,” lanjutnya.

Tapi, yang terpenting menurut Yenti adalah tidak mungkin barang sitaan itu kemudian diputus dengan harus dirampas untuk negara. Padahal, dalam kasus ini yang dirugikan adalah nasabah calon jamaah.

”Pencucian uang juga gunanya untuk perampasan kembali dari penelusuran aset (follow the money) yang mana hasil kejahatan itu yang kemudian dikembalikan kepada yang berhak. Dalam hal ini yang berhak ya korban First Travel,” katanya.

Putusan Kasasi kasus First Travel sendiri diketok oleh Ketua Majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Eddy Army dan Margono pada 31 Januari 2019. Dalam pertimbangannya, alasan MA memutuskan aset First Travel dirampas oleh negara adalah bahwa terhadap barang bukti Nomor urut 1 sampai dengan Nomor urut 529, Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum sebagaimana memori kasasinya memohon agar barang-barang bukti tersebut dikembalikan kepada para calon jamaah PT First Anugerah Karya Wisata melalui Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel berdasarkan Akta Pendirian Nomor 1, tanggal 16 April 2018 yang dibuat dihadapan Notaris Mafruchah Mustikawati, SH, M.Kn, untuk dibagikan secara proporsional dan merata. Akan tetapi sebagaimana fakta hukum di persidangan, ternyata Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel menyampaikan surat dan pernyataan penolakan menerima pengembalian barang bukti tersebut

Kemudian menurut hakim, bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.

Senada dengan Yenti, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai dirampasnya aset First Travel untuk negara merupakan putusan keliru. Fickar menganggap hakim MA mengambil putusan kasasi di luar kewenangannya.

”Putusan ini keliru. Mestinya barang bukti aset diserahkan kepada korporasinya untuk kemudian berurusan secara perdata dengan para korban. Hakim pengadilan pidana telah melampaui kewenangannya," ujar Fickar.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved