Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hari Pahlawan

Kisah Pejuang Veteran Asal Minut Saksi Hidup Peristiwa 14 Februari, Bikin Preman Kampung Ketakutan

Seorang pria bertato memasuki sebuah tempat tambal ban di pertigaan Desa Sukur, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Sulut.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Alexander Pattyranie
tribun manado
Henk Mekel, veteran perang kemerdekaan RI menunjukan ke arah atap bangun di bengkelnya Desa Sukur, Minahasa Utara, Senin (14/8/2017). 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Seorang pria bertato memasuki sebuah tempat tambal ban di pertigaan Desa Sukur, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Provinsi Sulawesi Utara.

Lagaknya congkak.

Ia memaksa pria tua, pemilik tampal ban, segera memperbaiki motornya.

Tak ditanya pria tua itu menghardiknya.

Bahkan kemudian mengusirnya.

Kegagahan pria tua itu membuat sang pemuda mendadak sopan.

"Sorry om," kata pemuda itu sambil menyatukan kedua lengan di dada.

Andai saja si pemuda tersebut tahu siapa si pria tua, niscaya akan bergidik.

Pria tua itu adalah Henk Mengko Mekel, veteran perang perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pria berumur 87 tahun ini sudah makan asam garam peperangan di sejumlah palagan, satu diantaranya peperangan melawan RMS. Dia menjadi salah satu saksi mata tewasnya Slamet Riyadi dalam pertempuran merebut benteng Victoria.

Dia adalah salah satu komandan dalam Batalyon Worang yang bersejarah itu. Dasar dasar berperang diperolehnya selama menjadi anggota Heiho, kesatuan angkatan bersenjata Jepang yang dikenal tangguh dalam medan perang rimba raya.

"Saya sudah biasa dengan desing peluru, anak muda," kata dia.

Kepada Tribun Manado, Henk menuturkan kisah perjuangannya.  Dimulai saat menjadi anggota  Heiho pada medio 1942.

"Jepang mendarat di Kema pada 11 Januari 1942, beberapa diantara kami pemuda Desa Sukur masuk Heiho," kata dia.

Henk menceritakan, latihan Heiho sangat disiplin. Ia mencontohkan, untuk mandi hanya diberi waktu lima menit.

"Selesai mandi instruktur mencium badan prajurit, jika tidak bau sabun akan ditampar. Cara tamparnya lain yaitu dengan punggung tangan belakang," kata dia.

Latihan berat lainnya, ujar dia, adalah mengangkat batang kelapa. Prajurit yang terlihat lemah akan dicambuk dengan rotan.

"Baju pasukan Heiho keras seperti kain terpal," bebernya.

Henk mengakui, didikan Heiho amat mempengaruhi cara pandangnya sebagai prajurit.

"Waktu saya jadi komandan, saya selalu berada di depan, itu gaya tentara jepang. Kalau KNIL didikan Belanda, komandannya berada di bagian belakang," kata dia.

Jepang pergi, Belanda kembali, Henk memutuskan membela tanah airnya. Ia terlibat dalam peristiwa 14 Februari. Peristiwa itu begitu membekas bagi Henk dikarenakan dua anak buahnya gugur.

"Perlawanan terjadi serempak di sejumlah tangsi, mereka gugur di tangsi KNIL Girian, gugurnya kedua prajurit itu diperingati dengan pendirian monumen veteran di kompleks pasar Girian," beber dia.

Diceritakan Henk, pihaknya bergerak tanpa tahu mana kawan mana lawan. Suasana batin di Minahasa kala itu terpengaruh dengan propaganda Belanda untuk menjadikan Minahasa sebagai salah satu provinsi di Belanda.

"Namun bara nasionalisme juga kuat," kata dia.

Lepas dari peristiwa merah putih, Henk masuk laskar rakyat. Ia berjuang di sejumlah wilayah di Indonesia.

"Kalau di Jawa pakai bambu runcing, kalau disini senjatanya adalah karaben, ada pula senjata dari jepang dengan sangkur panjang dan sangat tajam," ujar dia.

 Pada tahun 1951, dia menjadi tentara di bawah pimpinan Joppy Warouw. Lalu terlibat operasi menumpas Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1953.

Operasi yang dipimpin perwira asal Manado Alex Kawilarang itu diwarnai tewasnya Letkol Slamet Riyadi. Henk mengaku menyaksikan peristiwa itu.

"Saat itu Slamet membuka bagian atas tank, lalu ia ditembak," kata dia.

Kemudian berturut turut ia terlibat operasi pemberantasan pemberontakan Andi Azis, Kahar Muzakar serta Permesta.

Dalam operasi penumpasan Permesta, Henk yang tergabung dalam Batalyon Worang yang legendaris itu, berperang di daerah kelahirannya.

"Kami berjuang keras merebut gunung bendera, itu istilah untuk gunung klabat, Desa Sukur dimana saya lahir berada di kaki gunung klabat," kata dia.

Pada 1962, Henk menyandang status veteran. Sempat menjadi penjaga sejumlah perusahaan di Jakarta, Henk balik ke Desa Sukur. Henk menghabiskan usia tuanya dengan membuka bengkel kendaraan.

"Saya bekas tentara sudah biasa olahraga, kalau hanya duduk saja pastinya saya sudah berada di kursi roda," ujar dia.

Kini Henk hanya bisa memperbaiki motor. Ia mengaku tidak sanggup lagi memperbaiki kendaraan roda empat.
"Fisik saya sudah menurun," beber dia.

Ingin mewujudkan bangsa yang merdeka, dimana setiap orang bisa hidup dengan layak, adalah tujuan perjuangan Henk.
Empat anaknya sudah berhasil. Seorang diantaranya menjadi dokter. Namun Henk mengaku belum puas.

 "Saya kecewa dengan banyaknya orang yang ingin mengganti pancasila sebagai ideologi negara, itu keliru, pancasila sampai kapanpun adalah dasar negara kita. Saat berjuang dulu kami tidak membeda-bedakan suku dan agama, nanti tahu dia Kristen saat meninggal ada kayu salib di atas kuburannya," katanya.

(Tribunmanado.co.id/Arthur Rompis)

BERITA TERPOPULER :

 Surya Paloh Angkat Bendera Perang, Sebut NasDem tak Hanya Pikirkan Koalisi Jokowi

 Wapres Maruf Amin Benarkan Nama Ahok dan Antasari Azhar, Dewas KPK Digodok Tim Presiden

 Sirkuit Sepang Kembali Menelan Korban, Ayah Simoncelli: Malaysia Tempat Paling Mistis di Dunia

TONTON JUGA :

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved