Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Camat Bingung, tapi Menteri Desa Ngotot Tak Ada Desa Fiktif

Ada 23 desa di Sultra yang belum terdaftar, baik di Kemendagri maupun Pemprov Sulawesi Tenggara (Sultra).

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Sigit Sugiharto
tribun jatim
Abdul halim Iskandar 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) isi tengah menyelidiki keberadaan desa-desa fiktif,  yang menurut Menkeu Sri Mulyani telah menerima miliaran dana desa dari pemerintah pusat.

Kasubdit Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Humas Polda Sultra, Kompol Dolfi Kumaseh mengatakan, pihaknya tengah mengecek keberadaan desa-desa yang disebut siluman itu. 

Berdasar pengecekan, kata Dolfi, sudah ada 23 desa di Sultra yang belum terdaftar, baik di Kemendagri maupun Pemprov Sulawesi Tenggara (Sultra).

Namun, Dolfi menolak kalau desa desa itu disebut fiktif, karena ini masih proses penyelidikan.

Di antara 23 desa itu, lanjutnya, ada yang menyebut tak ada warganya.

Jokowi Minta Usut Tuntas Desa Fiktif dan Tangkap Pembuat Desa Fiktif

Tapi, ia tak punya bukti tentang adanya desa tak berpenghuni tu.

Sampai sejauh ini, papar Dolfi, pihak Ditreskrimsus Polda Sultra telah memeriksa 57  saksi terkait kasus desa fiktif ini, termasuk saksi dari Kemendagri.

“Kami  juga sudah mendatangkan ahli pidana, adiministrasi negara," tuturnya.

Tak hanya itu, Polri juga telah mengecek fisik kegiatan yang dilakukan memakai dana desa itu bersama ahli dari lembaga pengembangan jasa konstruksi.

Penyidik kepolisian, katanya,  masih menunggu hasil cek fisik dari saksi ahli serta hasil audit mengenai jumlah kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sultra.

Mendagri Terjunkan Tim Cek Desa Fiktif

Diduga, kata Dolfi, korupsi dana desa di beberapa desa di Kabupaten Konawe, Sultra, itu dilakukan selama tiga tahun (2015 - 2018).

Penggunaan dana dilakukan tanpa prosedur yang benar dan tanpa dilengkapi dengan dokumen yang sah.

Satgas Dana Desa

Pada pertengahan Maret 2019, Tim Satgas Dana Desa bentukan Kemendes menemukan ada tiga desa di Konawe yang tak punya wilayah, penduduk, kepala desa, dan tak punya struktur organisasi perangkat desa.

Tiga desa itu adalah Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya, serta Desa Uepai dan Morehe di Kecamatan Uepai, Sultra.

Hasil cek lapangan menyebutkan, tiga desa itu menerima dana desa sejak 2015. Ini berdasar bukti dokumen penyaluran dana desa di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Konawe.

Temuan ini menunjukkan bahwa sejak 2015, tiga desa fiktif itu telah menerima kucuran dana APBN masing-masing lebih dari Rp 5 miliar.

Kini, tiga desa itu tak diberi lagi dana desa karena tak ada nomor perda tentang pembentukannya. Ini setelah Satgas Dana Desa meminta Menkeu untuk menyetop kucuran dana buat tiga desa itu. 

Hasil pemeriksaan Satgas Dana Desa menyebutkan bahwa ada 23 desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah.

Dampak Pemkaran Wilayah

Camat Lambuya, Jasmin mengatakan di wilayah kerjanya memang tak ada Desa Ulu Meraka.

"Saya pernah dengar nama itu. Tapi, selama saya di sini sejak Maret 2019 tak ada desa itu," ujar Jasmin, Jumat (8/11/2019).

Menurut Jasmin, nama Desa Ulu Meraka berada di wilayah Kecamatan Onembute, bukan di Lambuya.

Sebelumnya, Kecamatan Onembute, adalah bagian dari wilayah Kecamatan Lambuya.

Sementara itu, Camat Uepai, Jasman menyebutkan Desa Uepai saat ini telah berubah status menjadi kelurahan.

Ini setelah Uepai mekar menjadi kecamatan, lepas dari Lambuya pada 2003.

Namun, pada 2015, Desa Uepai masih menerima dana desa, padahal statusnya sudah berubah jadi kelurahan.

"Pada saat keluar nama-nama desa penerima dana desa, Desa Uepai masuk dalam daftar penerima," papar Jasman.

Nah, solusinya, dana desa yang masih dikucurkan untuk Uepai akhirnya diberikan ke Desa Tanggondipo di wilayah pemekaran Uepai.

Sementara, mengenai Desa Morehe, saat ini sebagian besar warganya berada di Desa Rawua dan Anggopiu. Namun, pada 2015, desa ini tetap menerima dana desa.

Terkait desa desa fiktif ini, sejumlah LSM di Konawe melaporkan kasus ini ke KPK dan Mabes Polri.

Serahkan ke Penegak Hukum

Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi menyerahkan sepenuhnya penyidikan kasus dugaan desa fiktif di Konawe ini ke Polda dan KPK.

"Kasus ini kan ditangani oleh penegak hukum. Kita serahkan semua ke Polda Sultra. Kita beri kepercayaan ‎ke mereka untuk mengusut," ucap Ali Mazi saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, kemarin.

Ali Mazi juga mengamini ada beberapa anak buahnya yang sudah diperiksa. Mengenai hasil pemeriksaan, dirinya mengaku belum mendapatkan laporan.

Ditanya kesediaannya jika dimintai jadi saksi, pria kelahiran Buton ini berujar, "‎Pemda sudah dimintai keterangan. Para pihak yang tahu kejadian ketika itu juga dimintai keterangan‎. Kalau dimintai keterangan ya saya bersedia."

Mengenai nama desa-desa yang disebut fiktif, Ali Mazi menyatakan sama sekali tidak tahu dan tidak pernah dengar karena ia baru ‎menjabat sebagai gubernur.

Dia pun tidak berniat turun langsung mencari tahu desa fiktif, karena kasus ini tengah disidik oleh Polda Sultra dibantu lembaga antirasuah.

"‎Kan sudah ditangani kepolisian, kita tidak bisa masuk. Saat itu saya belum jadi gubernur. Peristiwanya kan tahun 2015. Sementara saya baru jadi gubernur di tahun ini‎," tuturnya.

"Kalau ada perintah turun, ya kita turun. Kalau tidak ada perintah ya tidak. Kan nanti malah cawe-cawe. Jangan sampai kita salah kerja kan. Ya udah kita pasrah saja pada kepolisian, kejaksaan, KPK yang sudah ikut campur," tambahnya lagi.

Soal Pemekaran Wilayah

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar mengatakan pemekaran atau pembentukan desa baru merupakan kewenangan pemerintah daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah atau perda.

Bahtiar menegaskan, pemekaran desa harus melalui proses yang panjang, sebelum diterbitkan perda pembentukan desa baru.

“Permintaan itu diajukan oleh kecamatan, tapi harus didahului musyawarah dengan masyarakat, agar mereka tahu bahwa desanya akan dibelah menjadi dua atau tiga bagian. Masyarakat harus dilibatkan,” kata Bahtiar.

Bahtiar menegaskan, bila warga tidak menghendaki adanya pemekaran maka proses itu bisa dihentikan.

Jika warga setuju, maka selanjutnya kecamatan akan menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah kabupaten atau pemkab.

Pemkab kemudian mengkaji kelayakannya secara objektif, melalui sejumlah poin seperti sebaran penduduk, luas wilayah, aksesibilitas hingga potensi ekonomi yang ada di wilayah calon desa.

Selanjutnya rekomendasi diajukan ke pemerintah provinsi atau pemprov yang juga akan melakukan verifikasi.

“Setelah disetujui baru pemprov menyerahkan ke Kemendagri untuk diberi nomor registrasi,” terangnya.

Bahtiar menegaskan jika proses-proses itu sudah dilalui tak serta merta muncul desa baru.

Desa baru itu akan didahului dengan status desa persiapan selama tiga tahun dengan dipimpin kepala desa yang ditunjuk dari aparatur sipil negara (ASN).

“Jika dalam tiga tahun desa persiapan itu dirasa mampu berjalan mandiri baru dibuatkan perda. Sebenarnya prosesnya panjang dan tidak tiba-tiba ada,” tegasnya.

Bahtiar mengaku pihak Mendagri Tito Karnavuan sudah memerintahkan Ditjen Bina Pemerintahan Desa untuk menerjunkan tim investigasi ke daerah-daerah yang terindikasi adanya desa fiktif di sejumlah provinsi.

Tim investigasi Kemendagri itu akan bekerja sama dengan pemprov dan polda setempat.

“Kami akan menelusuri bagaimana sistem yang berlapis itu bisa menghasilkan desa yang diduga sebagai desa fiktif. Kami juga akan menelusuri siapa ASN yang ditunjuk sebagai pemimpin desa tersebut.” ujarnya.

“Kemudian akan dievaluasi, jika memang fiktif akan dihapus. Dan jika ada oknum ASN yang bermain di balik itu semua, maka Kemendagri tidak akan memberikan toleransi,” pungkas Bahtiar.

Mendes PDTT Bersikukuh

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar bersikukuh tidak ada desa fiktif yang menerima kucuran dana desa dari pemerintah.

"Yang dimaksud fiktif itu sesuatu yang tidak ada kemudian dikucuri dana dan dana tidak bisa dipertanggung jawabkan, itu tidak ada (dana desa)," ujar Halim.

"Karena desanya ada, penduduknya ada, pemerintahan ada, dana dikucurkan iya, pertanggung jawaban ada, pencairan juga ada, sehingga saya bingung yang namanya fiktif namanya bagaimana," sambung Halim.

Halim mengaku, dirinya bersama jajarannya telah melakukan penelusuran terkait adanya desa fiktif menerima dana desa, seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

"Sudah kami telusuri semua sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi Kemendes, sudah kami telaah, dan memang kami temukan laporannya. Ada tahapan satu, dua, tiga (desa). Sejauh ini belum ada (temuan desa fiktif)," paparnya.

Ia pun menjelaskan, pengucuran dana desa oleh pemerintah sangat ketat, agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran yang telah diberikan untuk membangun desa.

"Dana desa setahun itu dievaluasi dua kali. Pertama 20 persen, setelah selesai laporan, (diberikan) 40 persen, jadi tidak akan turun (dana) kalau laporan tidak selesai," ucapnya.

Tidak ditemukannya desa fiktif oleh Kemendes PDTT, Halim juga telah melaporkan hal tersebut kepada Sri Mulyani.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyarankan laporan dana desa terus dicek secara berkala baik oleh Kementerian Keuangan maupun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.

"Itu harus terus diupdate (laporan). Jadi tidak hanya menerima laporan, tapi juga mengecek betul apa tidak jumlah desa itu. Saya anjurkan untuk terus dicek," kata dia.

Ia menuturkan, pengecekan berkala pada laporan dimaksudkan agar dana APBN dapat termanfaatkan sebaik-baiknya di masyarakat.

"Supaya dana-dana APBN itu sampai ke yang benar-benar bermanfaat untuk masyarakat. Dicek secara periodek biar enggak ada yang fiktif-fiktif lagi," ujar Ma'ruf.

(Tribun Network/fel/rin/sen/zal/kps/wly)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved