Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Wawancara Khusus Kepala BPS Sulut, Kunci Agar Inflasi tak Melesat, Kendalikan Harga Rica Tomat

Sulut mencatatkan inflasi 1.22 persen pada Bulan Oktober 2019. Angka itu tertinggi di Indonesia.

Penulis: Fernando_Lumowa | Editor: Maickel Karundeng
Fernanado Lumowa/tribun manado
Wawancara Khusus Kepala BPS Sulut, Kunci Agar Inflasi tak Melesat, Kendalikan Harga Rica Tomat 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sulut mencatatkan inflasi 1.22 persen pada Bulan Oktober 2019. Angka itu tertinggi di Indonesia. Jauh di atas inflasi nasional yang cuma 0,02 persen di bulan lalu.

Apa saja faktor-faktor penyebab sehingga inflasi Sulut melesat, bagaimana prediksi data indeks harga konsumen Sulut di dua bulan ke depan?

Kemudian, bagaimana potret data ekonomi Sulut di penghujung tahun, pengendalian harga komoditas dan fenomena jelang Natal dan Tahun Baru menarik dibahas.

Tribun Manado berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, Dr Ateng Hartono di tengah rutinitasnya yang sedang mempersiapkan Sensus Penduduk 2020 di kantornya.

Berikut ini rangkuman wawancara yang berlangsung Rabu (06/11/2019) siang.

Tribun Manado (TM): Sulut mencatat inflasi 1,22 persen di Bulan Oktober 2019. Itu tertinggi di Indonesia. Angka inflasi nasional cuma 0,02 persen. Kenapa bisa seperti itu?

Ateng Hartono (AH): Tomat sayur menjadi kontributor utama inflasi. Dari 1,22 persen inflasi, tomat berkontribusi 0,8575 persen. Sangat signifikan. Di samping tomat, ada cabai rawit alias rica yang kontribusinya 0,4278 persen dan daun bawang 0,0822 persen. Beruntung, komoditas lainnya yang juga jadi kebutuhan dasar harganya moderat sehingga bisa menahan laju inflasi.

TM: Kenapa bisa harga tomat dan rica ini sangat berpengaruh pada Inflasi Sulut?

AH: Pertama kita harus melihat bahwa
tomat dan rica dua komoditas paling dicari di Sulut. Angka konsumsinya sangat besar. Ketiga harga naik, tentu mendorong laju inflasi. Inflasi di Oktober yang baru lewat turut dipengaruhi apa yang terjadi sebelumnya. Fenomena turunnya harga tomat di dua bulan sebelumnya membuat petani membiarkan tanamannya.
Memasuki Oktober, permintaan relatif stabil, stok tomat malah berkurang, otomatis harga naik. Kemarau yang terjadi sebelumnya turut andil, banyak yang baru memulai tanam tomat dan rica saat ini. Pasokan kurang.

TM: Kalau demikian, langkah apa yang harus diambil?

AH:  Ini tantangannya. Karena permintaan terhadap tomat dan rica itu sangat tinggi. Perlu ada keseimbangan antara permintaan dan ketersediaan. Perlu dijaga memang. Kalau produksinya kurang dan tak bisa seimbang, pasti inflasi. Apalagi ini tinggal dua bulan kedepan, sudah Natal dan Tahun Baru.

TM: BPS bagian integral dari Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sulut. Masukan seperti apa yang sudah diberikan dalam hal solusi terkait gejolak harga komoditas tadi?

AH:  Sejatinya BPS memotret fakta di lapangan melalui data. Meski begitu, secara pribadi kami lihat ada tiga faktor penentu.
pertama, sangat positif jika kita bisa memetaka sentra produksi komoditas dan diatur jalur distribusi dan niaganya.

Kedua, soal agro industri manufaktur tomat, rica dan komoditas lainnya. Pasalnya, ketika produksi rica dan tomat berlimpah, tidak ada industri yang siap menampungnya. Dampaknya ke petani, NTP (Nilai Tukar Petani) turun dan berpengaruh pada pendapatannya.
Memang butuh kerja ekstra untuk mewujudkan agro industri manufaktur. Ketika diserap agro industri, bisa menjaga harga dan memberi nilai ekonominya.

Faktor ketiga,  ada permintaan yang besar dari luar Sulut. Misalnya kondisi harga di Papua dan Kalimantan lebih otomatis stok dikirim ke luar. Stok di dalam kurang, harga tentu naik. Nah ini yang perlu dilihat, dicarikan jalan keluarnya, bagaimana permintaan lokal diutamakan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved