Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

News

Jaksa Agung Burhanaddin Sebut Bahwa Orang Sakit Jiwa Tidak Dapat Dihukum Mati

Rencana tersebut menurut Burhanaddin diantaranya permohonan grasi bisa menunda proses pemidanaan hukum mati.

Vincentius Jyestha/Tribunnews.com
Jaksa Agung, ST Burhanuddin, saat ditemui di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (25/10/2019). 

TRIBUMANADO.CO.ID - Kejaksaan berencana akan memproses pemidanaan hukuman mati.

Jaksa Agung ST Burhanaddin menjelaskan rencana kejaksaan terhadap proses pemidanaan hukuman mati.

Rencana tersebut menurut Burhanaddin diantaranya permohonan grasi bisa menunda proses pemidanaan hukum mati.

Namun, tidak untuk hukuman-hukuman lainya.

"Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana. Kecuali dalam hal putusan pidana mati, dengan demikian ketentuan tersebut menjadi sia-sia," kata ST Buhanuddin dalam rapat bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (7/11/2019).

Untuk diketahui sebelum eksekusi mati dilakukan, banyak terpidana yang buru-buru mengajukan grasi kepada presiden.

Mereka berdalih bahwa eksekusi belum bisa dilakukan karena terpidana masih mengupayakan grasi.

Lalu berdasarkan pada pasal 2 ayat dua UU nomor 2 PNPS 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum dan militer.

Ratusan Penumpang Sriwijaya Telantar: Imbas Pecah Kongsi dengan Garuda

Alasan Moeldoko Usul Jabatan Wakil Panglima ke Presiden

Apabila perkara tindak pidana yang menyebabkan orang dihukum mati, dilakukan secara bersama sama, maka eksekusi pidana mati belum bisa dilakukan sebelum semua terpidana mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Pertimbangan Kejaksaan menurut Burhanuddin, bahwa ada kemungkinan putusan hukuman mati berubah setelah adanya upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali.

"Ternyata putusan akhir mengubah vonis pidana mati, mengingat mereka terlibat dalam perkara yang sama,hanya penuntutannya yang dipisah," katanya.

Selain itu menurut ST Burhanuddin orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak dapat dieksekusi mati.

Menurutnya kondisi kejiwaan terhadap terpidana mati harus didukung keterangan medis.

"Karenanya untuk mencegah adanya kesengajaan menunda eksekusi terpidana mati dengan alasan sakit kejiwaan, maka sakit kejiwaan yang diderita terpidana mati dapat ditunda eksekusinya harus dan didukung oleh keterangan medis yang menunjukkan bahwa terpidana mati sakit kejiwaanya," katanya.

Namun, pelaksanaan proses eksekusi mati tersebut terkendala oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkah pengajuan PK lebih dari satu kali.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved