Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Publik Dukung Jokowi Bikin Perppu

Di tengah pro dan kontra rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terkait pembatalan Undang-undang

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus dan organisasi memenuhi jalan di sekitar gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Demonstrasi tersebut lanjutan dari aksi sebelumnya yang menolak revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, dan Minerba. 

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris meminta Presiden Joko Widodo untuk tak khawatir dengan narasi pemakzulan, apabila menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.

"Presiden tidak perlu khawatir dengan ancaman banyak pihak, ada yang menghubungkan penerbitan perppu KPK itu dengan impeachment, dengan apa namanya pemecatan atas presiden," kata Syamsuddin, Minggu(6/10).

Baca: Elite Sedang Berhitung Biaya Politik 2024: Wacanakan Pengembalian GBHN

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh menyebut apabila Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu UU KPK hasil revisi bisa dimakzulkan. "Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah presiden bisa di-impeach (dimakzulkan) karena itu," ujarnya.

Syamsuddin menegaskan, bahwa narasi itu tidak tepat. Ia menganggap, pihak-pihak yang menyebarkan isu tersebut tak memahami konstitusi.

"Konstitusi kita itu sangat jelas prosedur pemberhentian presiden mesti ada pelanggaran hukum mencakup penghianatan terhadap konstitusi, negara, melakukan tindakan tercela, melakukan tindak kriminal itu kategorinya. Jadi konyol penerbitan perpou dihubungkan dengan impeachment," kata dia.

Ia juga menuturkan, penerbitan perppu merupakan kewenangan presiden jika merasa ada kegentingan yang memaksa. Syamsuddin menyebutkan, ada tiga opsi jika Presiden Jokowi ingin menerbitkan perppu KPK. Pertama, perppu yang membatalkan UU KPK hasil revisi. Kedua, perppu yang menangguhkan implementasi UU KPK hasil revisi dalam jangka waktu tertentu, agar UU KPK hasil revisi bisa diperbaiki.

"Dan ketiga yang isinya menolak atau membatalkan sebagian pasal bermasalah yang disepakati antara DPR dan pemerintah. Poin saya, apabila presiden misalnya takut dengan pilihan pertama, beliau bisa pilih yang lain," katanya.

"Sebab itu satu bulan sesudah 17 September, di mana disepakati DPR dan Pemerintah UU KPK hasil revisi. Pilihan yamg baik bagi Pak Jokowi adalah menunggu tanggal 17 Oktober, perppu bisa dilakukan setelahnya. Nah setelahnya itu kapan? Bisa sebelum dan sesudah pelantikan presiden," ujarnya.

Meski demikian, Syamsuddin menilai momen yang pas adalah setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Sebab, jika perppu KPK diterbitkan sebelum pelantikan, bisa menimbulkan potensi gejolak yang berisiko mengganggu pelantikan.

"Memang yang paling aman sesudah pelantikan presiden, tapi sebelum pembentukan kabinet. Itu waktu yang paling pas, setelah 17 Oktober dan setelah pelantikan presiden dan sebelum pelantikan kabinet," katanya.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan bahwa kewibawaan Jokowi tidak akan runtuh hanya karena menerbitkan Perppu. Sebagai seorang kepala negara, menurut Isnur, tentunya ini bisa menjadi cara bagi Jokowi dalam memegang amanat masyarakat.

"Pak Jokowi bukan hanya kepala pemerintah, tapi juga kepala negara. (Menerbitkan Perppu) tidak sama sekali meruntuhkan wibawa presiden di mata hukum dan masyarakat," kata Isnur.

Jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada tanggal 4-5 Oktober 2019 menyebut kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi berada di angka 12,7 persen untuk yang mengaku sangat puas, dan 54,3 persen cukup puas.

"Masih cukup tinggi tingkat kepuasan kepada Presiden, meskipun menurun dibandingkan Mei 2019, sebesar 71 persen pascapemilu, sekarang agak turun menjadi 67 persen," ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan.

Menurut Djayadi, Jokowi sebenarnya punya modal yang cukup untuk menghadapi publik. Khususnya terkait kebijakan-kebijakan lembaga negara yang dianggap kontroversi, seperti RUU KPK.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved