Pasar Micin Semakin Gurih
Meski ekonomi sedang lesu, prospek pasar penyedap rasa tetap sedap. Permintaan pasar yang besar turut menopang pertumbuhan berlipat
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Meski ekonomi sedang lesu, prospek pasar penyedap rasa tetap sedap. Permintaan pasar yang besar turut menopang pertumbuhan berlipat industri tersebut, tak terkecuali dengan proyeksi bisnis pada tahun ini.
PT Sasa Inti contohnya, membidik penjualan Rp 4,5 triliun untuk produk penyedap rasa merek Sasa pada 2019. "Jika pasar mono sodium glutamat (MSG) nasional berkembang 1%, kami berkembang 7%," ungkap Rudolf Tjandra, Chief Executive Officer PT Sasa Inti saat dihubungi KONTAN, Jumat (4/10) pekan lalu.
Baca: Ini Jurus UNVR Menghadapi Ancaman Resesi Ekonomi
Manajemen Sasa Inti menilai, kenaikan pasar penyedap rasa di Tanah Air tak terlepas dari dukungan dari Persatuan Dokter Gizi Klinis Indonesia (PDGKI) yang menyatakan bahwa MSG aman dikonsumsi masyarakat.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Food and Drug Administration (FDA) atau badan pengawas Amerika Serikat juga sudah memberikan lampu hijau atas produk MSG.
Sebagai catatan, cikal-bakal MSG berawal dari temuan ilmiah Kikunae Ikeda di Jepang sekitar tahun 1908. Dia kemudian menamai ciptaan rasa tersebut dengan nama umami. Umami menjadi rasa kelima selain manis, asin, asam dan pahit. Namun seperti di ketahui, isu kesehatan sering terdengar menjadi sentimen negatif produk MSG.
Sementara upaya internal Sasa Inti adalah menggeber strategi pemasaran. Khusus pada tahun ini, mereka menggalakkan kampanye bertajuk Rejuvenation Campaign.
Selama ini, Sasa menyumbang lebih dari 50% terhadap total penjualan Sasa Inti di pasar dalam negeri. Selain penyedap rasa Sasa, ada pula produk tepung bumbu, santan dan mayonaise. Hingga kini, Sasa Inti membukukan rata-rata pertumbuhan penjualan sebesar 20% untuk seluruh produk. "Khusus produk santan, pertumbuhannya tiga digit," kata Rudolf.
Utilitas 75%
Pemain lain, Ajinomoto Indonesia tak kalah optimistis. "Target tahun ini sebesar 20%," tutur Samsul Bakhri, Direktur Ajinomoto Indonesia yang juga menjabat Kepala Pabrik Ajinomoto Karawang, daat ditemui di Karawang, Jawa Barat, Kamis (3/10).
Baca: Sudah Naik Tinggi, Saham POLL Masih Bisa Gaspol
Hingga kini, pabrik Ajinomoto Indonesia di Karawang sudah memenuhi 50% dari target yang diharapkan. Pabrik itu memproduksi 50.000 ton per tahun dengan utilitas atau tingkat keterpakaian mesin mencapai 75%
Ajinomoto Indonesia memiliki sembilan produk. Namun hanya tiga produk bikinan pabrik Karawang, yakni Masako, Sajiku dan Saori. Masako merupakan produk yang paling banyak terserap di pasar. Secara berurutan, serapan pasar terbanyak berikutnya adalah Sajiku diikuti Saori.
Saban hari, pabrik Karawang mampu memproduksi sekitar 136 ton Masako. Perinciannya, 108 ton hingga 110 ton Masako kemasan 10 gram dan 25 ton hingga 26 ton Masako kemasan bag type.
Selain di Karawang, Ajinomoto Indonesia juga memproduksi Masako di pabrik Mojokerto, Jawa Timur. Mereka mengarahkan pabrik Karawang untuk melayani pasar di wilayah Indonesia bagai barat sedangkan pabrik Mojokerto melayani bagian Timur.
Ajinomoto Indonesia mengaku telah menjajakan Masako di hampir seluruh wilayah dalam negeri. Mereka mengandalkan PT Ajinomoto Sales Indonesia sebagai kendaraan distribusi yang memiliki tiga cabang di Medan, Jakarta dan Surabaya.
Baca: Publik Dukung Jokowi Bikin Perppu
Indofood dan PepsiCo Putus Kongsi Karena Faktor Komersial
PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) akhirnya buka suara tentang kandasnya hubungan dengan PepsiCo. Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (4/10), Indofood CBP menjelaskan, kerjasama PepsiCo dan ICBP berakhir karena jangka waktunya sudah berakhir.
Kongsi bisnis ICBP dengan PepsiCo dilakukan lewat entitas usahanya PT Anugerah Indofood Beverage Makmur (AIBM) sejak lima tahun silam. AIBM mendapat lisensi eksklusif pembotolan atau exclusive bottling agreement (EBA) dari PepsiCo Inc.
Tak hanya bidang manufaktur, Anugerah Indofood berhak memproduksi, menjual, dan mendistribusikan secara eksklusif produk minuman non-alkohol dengan menggunakan merek-merek milik PepsiCo di Indonesia.
Sekretaris Perusahaan ICBP Gideon A Putro mengatakan, selain jangka waktu kerjasama yang telah berakhir, AIBM dan PepsiCo tidak melanjutkan kerjasama karena alasan komersial.
Gideon memastikan, tidak ada dampak material terhadap pendapatan perusahaan. Tak hanya itu, setelah putusnya kerjasama ini, ICBP tetap akan mengembangkan kegiatan usaha di bidang minuman.
Gideon bilang, saat ini ICBP memiliki beragam portofolio produk yang meliputi produk teh siap minum, air minum dalam kemasan serta minuman rasa buah yang dipasarkan menggunakan merek Ichi Ocha, Club da Fruitamin.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana yakin, putusnya kerjasama itu tidak berimbas besar pada ICBP maupun induk usahanya, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). "Pendapatan paling besar masih dari divisi mi instan," jelas dia, Minggu (6/10).
Pada semester I 2019, produk mi instan berkontribusi 64%, dairy atau produk susu 18%, makanan ringan 6%, penyedap makanan 5%, minuman 4% dan segmen nutrisi dan makanan 2%.
Melihat pergerakan ICBP, saran Herditya, sebaiknya wait and see atau buy on weakness di Rp 11.800. Sedangkan Direktur Avere Investama Teguh Hidayat merekomendasikan profit taking bagi investor yang memiliki ICBP. Jumat (4/10), harga ICBP naik 0,2% di Rp 12.225 per saham. (Arfyana Rahayu/Kenia Intan Nareriska)