Sains
Kerusuhan Wamena, Kenapa Hoaks Bisa Memicu Amarah yang Sangat Merusak?
Pesan yang kita terima - entah kabar hoaks atau tidak - dapat mengaktifkan amigdala, bagian otak yang terkait dengan identitas diri dan emosi.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Aksi anarkis di Wamena, Jayawijaya Senin (23/9/2019).
Kerusuhan ini disebabkan oleh hoaks yang beredar pada pekan sebelumnya, dilansir dari Kompas.com.
Kabar bohong itu mengatakan, seorang guru di sebuah sekolah mengeluarkan kalimat rasis kepada muridnya.
Kepolisian di Wamena mengonfirmasi, yang memicu amarah warga Wamena itu benar adalah karena hoaks.
"Guru tersebut sudah kita tanyakan dan tidak ada kalimat rasis, itu sudah kita pastikan.
Baca: Kerusuhan di Wamena, Kapolri dan Panglima TNI Lakukan Hal Yang Sama Seperti di Awal September 2019
Baca: Rusuh Wamena Tewaskan 26 Orang: Ini Data Orang Mengungsi
Baca: Kerusuhan di Wamena Gara-gara Salah Paham, Kapolri: Guru Bilang Keras, Murid Dengarnya Kera
Jadi kami berharap masyarakat di Wamena dan di seluruh Papua tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang belum tentu kebenarannya," tutur Rudolf seperti diberitakan Kompas.com, Senin.
Aksi anarkis berawal ketika sekelompok siswa SMA PGRI dan masyarakat yang berjumlah sekitar 200 orang berjalan ke salah satu sekolah di Kota Wamena, Kabupaten Jayapura, pada Senin (23/9/2019) pukul 9.00 WIT.
Dalam perjalanan menuju sekolah tersebut, jumlah massa yang bergabung bertambah hingga terpecah di beberapa titik seperti kantor Bupati Jayawijaya, perempatan Homhom, dan sepanjang Jalan Raya Sudirman.
Aksi unjuk rasa ini pun berujung pada pelemparan batu hingga massa membakar sejumlah bangunan, mulai dari rumah warga hingga kantor institusi.
Kabar terakhir yang dihimpun Kompas.com siang ini, jumlah korban tewas ditemukan ada 26 orang.
Soal kabar hoaks
Peristiwa duka dan aksi unjuk rasa gara-gara kabar bohong bukan cuma kali ini saja terjadi.
Pada kerusuhan 22 Mei 2019 di Jakarta, misalnya, unjuk rasa diduga disebabkan oleh kabar dari media sosial yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam kolom komentar Kompas.com, pembaca mempertanyakan, kenapa kemarahan atas berita hoaks dapat begitu merusak.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita sebenarnya perlu memahami bagaimana cara kerja otak.