Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pimpinan KPK

Mahfud MD Sebut KPK Tak Bisa Berikan Mandat Ke Presiden Hingga Kesalahan Keputusan Komisioner

Mahfud MD juga menjelaskan bahwa Pimpinan KPK sebenarnya tidak bisa memberikan mandat kepada Presiden.

Fransiskus Adhiyuda/Tribunnews.com
Mantan Ketua MK, Mahfud MD jelaskan alasannya yang menyebutkan MK bisa langsung putuskan hasil sidang 

Semangat pemberantasan korupsi sudah muncul di masa-masa awal kelahiran negara ini. Sejumlah aturan hukum diterbitkan; sejumlah lembaga pun didirikan. Tapi, perkara korupsi tak kunjung selesai.

Di era Orde Baru, Soeharto juga membentuk lembaga pemberantasan korupsi namun ia sendiri terjungkal karena korupsi.

Setelah era Soeharto, semangat pemberantasan korupsi memasuki babak baru di era BJ Habibie. Orde Reformasi membawa banyak perubahan.

Kendati hanya jadi presiden selama 1 tahun 5 bulan, Habibie adalah sosok yang berperan penting dalam upaya pemberantasan korupsi.

Di era Habibie, di tengah desakan arus reformasi, terbitlah Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu yang kelak menjadi jalan pembuka bagi lahirnya KPK.

Pasal 43 UU tersebut mengamanatkan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maksimal dua tahun sejak UU berlaku.

Habibie juga membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Ancaman mengumumkan pejabat yang enggan melaporkan kekayaannya cukup efektif membuat ribuan pejabat melapor.

Kelak ketika KPK lahir, fungsi pengawasan KPKPN dilebur ke KPK. Dalam kolomnya di Harian Kompas pada 14 Desember 2002, ahli hukum tata negara Saldi Isra menduga KPKPN akhirnya dibubarkan karena meminta pelaporan kekayaan anggota DPR.

Selain itu, KPKPN juga menyenggol para pejabat tinggi negara. Salah satunya MA Rahman, Jaksa Agung kala itu yang tidak melaporkan rumahnya di Cinere beserta deposito Rp 800 juta.

Di era Presiden Abdurrahman Wahid, kembali dibentuk lembaga antirasuah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Sayangnya, lembaga yang berada di bawah Kejaksaan Agung itu melempem ketika berhadapan dengan kasus-kasus besar seperti Texmaco dan BLBI. TGPTPK bubar pada 2001.

Setelah Abdurrahman Wahid lengser dan digantikan Megawati Soekarnoputri, terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu melandasi lahirnya KPK pada 2003.

Revisi UU KPK yang kini dikritik keras lantaran dianggap sebagai upaya pelemahan KPK, bukan yang pertama.

Sejak pertama berdiri hingga kini, KPK terus ditelikung dari berbagai sisi.

Di periode pertama di bawah pimpinan Taufiequrachman Ruki (2003-2007), KPK sempat melawan judicial review pasal penyadapan dari anggota KPU Mulyana W Kusumah.

Mulyana adalah tangkapan (OTT) KPK angkatan awal. Ia divonis 15 bulan penjara karena menyuap anggota BPK senilai Rp 150 juta dalam audit pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Kemudian di era Antasari Azhar (2007-2009), selain kasus pembunuhan yang memenjarakan Antasari Azhar sendiri, ada kriminalisasi dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

Di era ini, Kepala Bareskrim Polri Jenderal Susno Duadji menyerang KPK karena disadap. Pertarungan KPK dengan Polri ini kemudian dikenal sebagai "Cicak vs. Buaya".

Di legislatif, Ketua DPR kala itu, Marzuki Alie, berkali-kali mengusulkan KPK dibubarkan dan merevisi UU KPK.

Sementara di pihak eksekutif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengingatkan KPK saat menyebutnya sebagai lembaga superbody yang berbahaya.

Baca: Kisah Horor Pemadam Kebakaran Hutan dan Lahan yang Bertemu Harimau, Sarang Tawon hingga King Kobra

Baca: 4 Pemuda Pergoki Siswi Berhubungan Badan dengan Pacarnya di Gudang, Malah Minta Jatah dan Digilir

Baca: Dedengkot KKB Papua Menyerahkan Diri, Ingin Hidup Damai dan Berikrar Setia Pada NKRI

Menurut SBY, kekuasaan KPK terlalu besar tanpa kontrol memadai. Besan SBY, Aulia Pohan ditangkap di era yang sama.

Kemudian di era Abraham Samad (2011-2015), KPK kembali mendapat serangan dari eksekutif dan legislatif. Muncul wacana revisi UU KPK dengan substansi menyunat kewenangan lembaga itu.

Di DPR, Komisi Hukum menahan proyek gedung KPK. Padahal gedung yang mereka tempati sudah tak memadai lagi.

Dari Polri, penyidik senior KPK Novel Baswedan ditersangkakan oleh Polda Bengkulu. Di era yang sama, Mabes Polri menarik penyidiknya sehingga jumlah penyidik tinggal 62.

Padahal, ada puluhan kasus yang sedang ditangani. Di antaranya rekening gendut perwira Polri, bailout Century, dan kasus STNK/plat nomor.

Di era Agus Raharjo yang dimulai sejak 2015, penyidik Novel Baswedan disiram air keras hingga membutakan sebelah matanya.

Upaya mengebiri KPK juga tak kunjung padam kendati dukungan masyarakat untuk KPK mengalir deras.

Pada 2016 dan 2017, DPR menyepakati RUU KPK masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR juga membentuk pansus hak angket KPK.

Akhir KPK?

Melihat sejarah yang panjang, semangat pemberantasan korupsi sudah berkali-kali mati dibunuh di negeri ini. Bahkan, di era Soekarno ia dibunuh begitu dini, tiga bulan sejak berdiri.

Kini, revisi UU KPK kembali digulirkan. Di legislatif, baik oposisi maupun partai pemerintah yang sama-sama mendukung RUU KPK.

Upaya KPK seolah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo. Surat persetujuan dari Jokowi untuk membahas RUU KPK dinilai dibuat terburu-buru.

Selain itu, KPK tak dilibatkan dalam penyusunan draf RUU KPK. Pembahasan juga digelar tertutup.

Belum lagi seleksi calon pimpinan KPK yang disinyalir meloloskan nama-nama bermasalah.

Terpilihnya pimpinan baru membuat para pimpinan KPK mundur.

Saut Situmorang sudah melepas jabatannya. Disusul Agus Rahardjo dan Laode M Syarif yang menyatakan menyerahkan mandat pengelolaan KPK ke Presiden Jokowi.

Akankah KPK selamat dari "serangan" kali ini? Ataukah harapan akan perlawanan terhadap korupsi akhirnya habis, mati?

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Baca: VIRAL FOTO Ular Raksasa Mirip Anakonda Terpanggang, Disebut Mati saat Kebakaran Hutan di Kalimantan

Baca: Final Vietnam Open 2019 - China Juara Umum, Indonesia Kebagian 1 Gelar

Baca: Tanda-tanda Obsessive Compulsive Disorder, Termasuk Melakukan Sesuatu Secara Berulang-ulang

Subscribe YouTube Channel Tribun Manado:

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved