Metafisika: Variabel Yang (Sengaja) Dilupakan
Data proses dan hasil Pemilu 2019, secara khusus di Kota Manado, yang dikumpulkan dan dianalisis oleh SRaD (Shaad Research and Development)
Bila positive thinking memakai tenaga satu watt, maka positive feeling memakai 5000 watt. Karena itu positive feeling lebih powerful dibandingkan dengan positive thinking.
Positive feeling mengunakan vibrasi yang tinggi, bersifat cinta, damai, penuh kasih sehingga vibrasi lebih dekat dengan vibrasi Tuhan.
Bahkan jantung mempunyai otak tesendiri yang dapat bekerja tanpa menungu perintah dari otak kepala.
Penemuan para ilmuan seperti Wolf Singer, Michael Persinger, Ramachandra (via Mursidin, 2012: 18) membuktikan bahwa hati telah menjadi simbol spritual bagi kehadiran Tuhan dalam diri manusia.
Tuhan telah berada dalam hati manusia yang disebut God Spot. Hati atau jantung menjadi simbol segala kebajikan.
Tak ada kejelekan, kesalahan dan kekeliruan yang bisa dibenarkan oleh jantung hati kita.
Hati yang sering disebut kata hati atau hati nurani atau jantung hati menjadi puncang simbolik bagi spritual tertinggi.
Disinilah bersemayamnya naluri-naluri kearifan, kebijakan, keadilan dan kejujuran.
Ibnu Athaillah (709 H) mencoba meyakinkan pembaca karyanya, Lathaiful Minan, bahwa Allah memang memberikan kelebihan indra keenam untuk hamba pilihan-Nya.
Dalam bahasa Jawa kelebihan itu sering disebut dengan istilah Weruh Sak Durunge Winarah, mengetahui (sebuah permasalahan) sebelum (waktunya) terjadi.
Untuk memperkuat pendapatnya tersebut, Ibnu Athaillah menghadirkan dalil Hadis, cerita tentang beberapa sahabat yang diberikan kelebihan tersebut, dan pendapat Abul Abbas al-Mursi (686 H), yang tidak lain adalah gurunya.
Hadis yang dimaksud adalah ittaqu firasatal mu‘min, fa innahu yanzhuru bi nurillah, ‘Pertimbangkanlah firasat seorang mukmin, karena (bisa jadi) dia (dapat) melihat (sebuah permasalahan yang belum terjadi) berkat pertolongan Allah’ (HR Tirmidzi).
Selain itu, Ibnu Athaillah juga menyebutkan cuplikan hadis lain: fa idza ahbabtuhu kuntu sam’ahu alladzi yasma’u bihi, wa basharahu alladzi yusbshiru bihi, wa yadahu alladzi yabthisyu biha, wa rijlahu allati yamsyi biha [ketika Aku sudah mencintainya (wali Allah), maka Akulah yang mengarahkan telingannya untuk mendengar, matanya untuk melihat, tangannya untuk menggenggam sesuatu, dan kakinya untuk melangkah. -HR Ibn Hibban-].
Ada yang menarik yang perlu ditelusuri mengenai istilah firasah dalam bahasa Arab yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi firasat.
Secara leksikal (makna kamus), firasah dan firasat memiliki makna yang sama.