Berita Kesehatan
Berikut Dampak Negatif Pernikahan Dini, Termasuk Menambah Daftar Angka Kematian Ibu Hamil dan Bayi
Bila melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada awal 2019, angka persentase pernikahan dini di Indonesia meningkat menjadi 15,66%
Penulis: Reporter Online | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pernikahan dini di Indonesia masih marak terjadi.
Padahal, pemerintah sendiri telah mengatur batas umur untuk melakukan pernikahan.
Aturan itu tertuang dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomro 1 Tahun 1974.
Dalam pasal tersebut terang disebutkan, batas minimal usia untuk menikah bagi laki-laki minimal 19 tahun, sementara untuk perempuan minimal 16 tahun.
Bila melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada awal 2019, angka persentase pernikahan dini di Indonesia meningkat menjadi 15,66% pada 2018, dibanding tahun sebelumnya 14,18%.
Kenaikan persentase pernikahan dini tersebut merupakan catatan tersendiri bagi pemerintah yang sedang terus berusaha memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Berdasarkan data BPS, mereka yang digolongkan pernikahan dini adalah perempuan yang menikah pertama di usia 16 tahun atau kurang.
Dari catatan BPS, provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 22,77%, Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).
Sebagai perbandingan, pada 2017 persentase pernikahan dini di Jawa Barat mencapai 17,28%. Angka itu lebih rendah dari Jawa Timur (18,44%) dan Kalimantan Selatan (21,53%).
Dengan demikian, peningkatan persentase pernikahan muda pada 2018 di Jawa Barat jauh lebih signifikan dibandingkan provinsi lainnya.
Ditinjau dari alasan medis, pernikahan dini cukup beresiko, bisa merugikan mental maupun fisik kedua pasangan. Terlebih bagi perempuan.
Karena perempuan yang belum dewasa memiliki organ reproduksi yang belum kuat untuk berhubungan intim dan melahirkan.
Hal ini menyebabkan gadis di bawah umur memiliki risiko 4 kali lipat mengalami luka serius dan meninggal akibat melahirkan.
Secara ilmu kedokteran, organ reproduksi untuk gadis dengan umur di bawah 20 tahun belum siap untuk berhubungan seks atau mengandung.
Baca: Polisi Perpanjang Penjagaan Tambang Bakan, Kapolres Jamin Tak Ada Lagi Aksi Penambangan
Baca: Motor Italia Dapat Respons Positif, Usai Launching Sejumlah Warga Manado Langsung Pesan
Baca: Mei 2019, Nilai Ekspor Non Migas Sulut ke Amerika Capai 12,97 Juta Dolar
Jika terjadi kehamilan berisiko mengalami tekanan darah tinggi (karena tubuhnya tidak kuat).
Kondisi ini biasanya tidak terdeteksi pada tahap-tahap awal, tapi nantinya menyebabkan kejang-kejang, perdarahan bahkan kematian pada ibu atau bayinya.
Fakta lainnya, kondisi sel telur pada gadis di bawah umur, belum begitu sempurna, sehingga dikhawatirkan bayi yang dilahirkan mengalami cacat fisik.
Selain itu, semakin muda usia pertama kali seseorang berhubungan intim, maka semakin besar risiko organ reproduksi terkontaminasi virus.
Disampaikan oleh pemerintah melalui sehatnegeriku.kemkes.go.id, bahwa kehamilan pada usia muda atau remaja antara lain berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), perdarahan persalinan, yang dapat meningkatkan kematian ibu dan bayi.
Kehamilan pada remaja juga terkait dengan kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi tidak aman.
Persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi, dan balita.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 bahkan menunjukan, angka kematian neonatal, postneonatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun.
Dampak Negatif Menikah Usia Dini
Dikutip dari Kompas.com, berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia anak.
1. Dampak bagi anak perempuan

Anak perempuan akan mengalami sejumlah hal dari pernikahan di usia dini.
Pertama, tercurinya hak seorang anak. Hak-hak itu antara lain hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua.
Berkaitan dengan hilangnya hak kesehatan, seorang anak yang menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur.
Risiko ini bisa mencapai lima kali lipatnya. Selanjutnya, seorang anak perempuan yang menikah akan mengalami sejumlah persoalan psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Di usia yang masih muda, anak-anak ini belum memiliki status dan kekuasaan di dalam masyarakat. Mereka masih terkungkung untuk mengontrol diri sendiri.
Terakhir, pengetahuan seksualitas yang masih rendah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seperti HIV.
Baca: Mei 2019, Nilai Ekspor Non Migas Sulut ke Amerika Capai 12,97 Juta Dolar
Baca: Untuk Ungkap Kasus Penyerangan Novel, TPGF Periksa Sejumlah Jenderal Polisi
Baca: Cegah Penipuan Lewat Jejaring Sosial, Begini Imbauan Kapolsek
2. Dampak bagi anak-anak hasil pernikahan dini
Beberapa risiko juga mengancam anak-anak yang nantinya lahir dari hubungan kedua orangtuanya yang menikah di bawah umur.
Belum matangnya usia sang ibu, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak.
Misalnya, angka risiko kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.
3. Dampak di masyarakat
Sementara, dampak pernikahan dini juga akan terjadi di masyarakat, di antaranya langgengnya garis kemiskinan.
Hal itu terjadi karena pernikahan dini biasanya tidak dibarengi dengan tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial.
Hal itu juga akan berpengaruh besar terhadap cara didik orangtua yang belum matang secara usia kepada anak-anaknya. Pada akhirnya, berbuntut siklus kemiskinan yang berkelanjutan. (*/Riz)