Haryanto dan Nono S.A. Sumampouw: Variabel Religi Pilkada Manado 2020
Data proses dan hasil Pemilu 2019, secara khusus di Kota Manado, yang dikumpulkan dan dianalisis oleh SRaD (Shaad Research and Development)
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO-Data proses dan hasil Pemilu 2019, secara khusus di Kota Manado, yang dikumpulkan dan dianalisis oleh SRaD (Shaad Research and Development) menghasilkan gambaran demografi politik yang sangat menarik.
Riset mandiri ini adalah ikhtiar SRaD berkontribusi terhadap terbangunnya dinamika politik yang sehat, berintegritas, rasional, dan berdiri di atas basis ilmu pengetahuan—tidak sekadar spekulasi dan dugaan sebagaimana yang umum dipraktekkan.
Di jangka pendek data-data dan analisis yang dilakukan dapat menjadi basis pembelajaran pada seluruh pemangku kepentingan politik di Manado, bahkan lebih luas lagi.
Jangka panjang, sebagai database, riset yang memberikan gambaran demografi politik Kota Manado ini sangat berguna—terutama dan paling utama—bagi penanggung jawab dinamika politik (juga sosial), parpol, dan bahkan aktor politik di kota ini.
Penggunaan praktis data-data dan analisis itu, salah satunya, dapat diimplementasikan pada proyeksi Pilkada Manado 2020.
Baik sebagai masukan untuk KPU Manado untuk mengefektifkan pelibatan konstituen politik dalam Pilkada; hingga sebagai jalan masuk parpol dan bakal calon Walikota-Wawali yang berkeinginan ambil bagian dalam kontestasi lima tahunan ini.
SRaD mengharapkan, data-data dan analisis Pemilu 2019 ini dapat mendorong praktek eksploitasi positif dan sistematis terhadap konstituen Pilkada Manado 2020.
Dengan demikian, Pilkada bukan hanya menjadi kegembiraan kontestasi politik, tetapi juga alat perekat keberagaman di kota ini.
Apalagi, menurut hemat SRaD, signifikansi variable agama (bersama etinisitas) di Indonesia masih menjadi faktor paling sering dibicarakan dan dieksploitasi (bahkan kerap over-exploited) secara politik terutama di tingkat grass-root.
Eksplotasi terhadap variable religi ini, yang paling mencolok di Pemilu 2019, adalah pada pemilihan Presiden-Wapres.
Mencermati Pilkada Manado 2020, yang mulai menggeliat dengan ‘’pemanasan’’ di media massa dan baliho-baliho yang bermunculan, walau tidak terbuka dan karenanya harus dibaca secara intrinsik, nuansa sentimen, segmentasi, atau semangat keagamaan cukup mengedepan.
Simpulan sementara dari fenomena ini adalah: secara umum, berdasar komposisi demografis, sangat mungkin memunculkan dominasi tokoh dari dua kalangan agama terbesar di kota ini, yaitu Kristen (atau lazimnya disebut non-muslim dalam kategori politik aliran di Indonesia) dan Islam.
Menilik data demografis paling umum, dominasi ini wajar dan masuk akal, sejalan dengan fakta kekuatan politik berdasar hasil Pemilu 2019.
Dari keseluruhan penduduk Manado, persentase umat Kristen mencapai 54% dan Muslim mencapai 45%, serta agama lainnya 1%. Data ini konsisten jika disandingkan dengan DPT terakhir, yakni Kristen 59% (dengan asumsi menggabungkan Katolik ke dalam klasifikasi umum pemilih Kristen), Muslim 40%, dan Lainnya 1%.
Ringkasnya, variabel religi ini cukup menggambarkan potensi suara konstituen yang harus diindahkan oleh bakal calon.
Namun, bila Katolik diperhitungkan sebagai kekuatan politik yang mandiri, data yang ada menjadi lebih fragmentatif.
Bila diturunkan menjadi nama-nama bakal calon, dari kalangan Kristen yang sudah mencuat adalah Jimmy Rimba Rogi, Roy Roring, Telly Tjanggulung, Rio Permana Mandagi, dan Mor Bastiaan.
Demikian pula dengan komunitas Muslim yang melalui nama-nama seperti Abid Takalamingan, Taufik Pasiaq, Ulias Taha, Bobby Daud, Mahmud Turuis, Djafar Madiu dan Rum Usulu.
Dua pengelompokan itu sangat mungkin menjadi penggabungan, karena walau sesuai DPT pemeluk Kristen dominan secara demografis, tetapi angkanya relatif seimbang dengan Muslim.
Inipun belum dihitung dengan calon yang terdengar akan maju dari kelompok agama di luar dua kategori tersebut, seperti Ketua DPRD Provinsi Sulut, Andrei Angouw.
Tetapi, peta politik berbasis data agama tidak sesederhana itu.
Beberapa aspek, misalnya disparitas, persebaran dan fragmentasi kekuatan politik, bahkan alasan-alasan kualitatif yang mendasari munculnya angka-angka dan persentase-persentase yang telah dihasilkan berdasarkan Pemilu 2019, juga harus dimasukkan sebagai variabel.
Kita bisa memulai dari komposisi keterwakilan anggota DPRD Kota Manado terpilih berdasarkan religi, yang dapat menjadi cerminan kekuatan politik Pilkada 2020.
Kenyataannya, Pemilu 2019 menghasilkan komposisi 78% (31 orang) anggota DPRD Manado dari kalangan non-muslim dan hanya 22% (9 orang) dari kalangan Muslim.
Persentase ini menjadi agak timpang jika dibandingkan dengan dengan persentase suara di DPT.
Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana ini bisa terjadi?
Jawaban terhadap pertanyaan krusial itu adalah faktor parpol yang umumnya berideologi nasionalis.
Parpol nasionalis (berbeda dengan yang berideologi religi), secara alamiah akan dipilih konstituen non-muslim dan secara bersamaan juga oleh Muslim.
Sementara, partai berbasis massa Islam, hampir kurang dilirik oleh pemilih non-muslim.
Sehingga, dalam sudut pandang ini, sebenarnya cenderung menguntungkan politikus non-muslim yang tersebar di parpol nasionalis.
Data Pemilu 2019 menunjukkan, di Kota Manado parpol memperoleh 77% suara sah.
Capaian ini termasuk disumbangkan dari migrasi pemilih Muslim ke partai nasionalis sejumlah 17%.
Sedang pemilih Muslim yang tetap memilih parpol berbasis massa Islam atau caleg Muslim di parpol nasionalis, hanya sekitar + 22% suara sah.
Angka 22% suara sah ini konstan dengan jumlah polirikus berlatar Muslim yang terpilih di Pemilu 2019, yakni 9 orang (22% dari jumlah kursi di DPRD Manado).
Padahal, jika semata mengacu pada statistik jumlah penduduk atau DPT, setidaknya polikus Muslim yang terpilih berpotensi mencapai sekitar 40-an% (+ 16 kursi).
Dalam perspektif ini ada reduksi sekitar 17,5% suara umat Muslim dari keseluruhan suara sah menurut DPT atau turun + 43% dari jumlah suara sah sesuai DPT.
Di sisi lain, secara bersamaan persentase tersebut dapat dimaksimalkan oleh politikus atau parpol berbasis massa nasionalis, sehingga meningkatkan jumlah perwakilan mereka sebanyak 7 kursi (+ 17,5% dari suara DPT dan jumlah kursi) di DPRD Kota Manado.
Angka ini jelas cukup tinggi dan signifikan.
Di saat bersamaan—dan sayangnya belum menjadi perhatian parpol dan para praktisi politik Muslim—, menjadi penting memperhatikan tingkat partisipasi pemilih.
Secara umum, tingkat partisipasi pemilih di Pemilu 2019 di Kota Manado mencapai 73 % dari jumlah DPT.
Ini berarti terdapat 27% pemilih yang tidak menggunakan haknya dengan berbagai alasan maupun hambatan.
Presentase ini cukup sifnifikan juga dikonversi ke dalam angka perolehan suara.
Bagaimana jika presentase itu dihubungkan dengan variabel agama? Data menunjukkan, tingkat partisipasi pemilih dari kalangan non-muslim mencapai 68%, sedang kalangan Muslim mencapai 32%.
Artinya, secara statistikal tampak bahwa kekuatan suara non-muslim memperoleh keuntungan karena setidaknya: (1) Suara pemilih Muslim diterima oleh parpol nasionalis yang para calegnya umumnya non-muslim, sementara parpol berbasis Islam hampir tidak pasti tidak menggarap suara dari pemilih non-muslim; dan (2) Disparitas kekuatannya menjadi lebih besar karena tingkat kesadaran partisipasi pemilih Muslim lebih rendah dari pemilih non-muslim.
Lewat sudut pandang itu, dapat diketahui bahwa secara statistikal kekuatan politik umat Muslim di Manado terdesak ke arah yang justru lebih menguntungkan politikus non-muslim.
Masalahnya, fakta ini kurang terbaca (atau malah diabaikan) secara statistic karena praktek politik praktis di kalangan umat Muslim yang cenderung berhenti pada data-data umum semata.
‘’Bukan Cuma Soal Itu’’
Temuan riset SRaD itu hanyalah bagian sangat kecil, umum, dan menggunakan metode statistik sederhana untuk dapat digunakan menentukan strategi yang bisa diekploitasi dari varibel religi demi memaksimalkan potensi suara masyarakat di Pilkada 2010.
Turunan dari varibel ini, yang tak kurang penting.
Misalnya adalah sebaran geografis pemilih berdasar Dapil, kecamatan, bahkan tingkat kelurahan/desa; atau sebaran berbasis parpol; hingga dapat diketahui titik potensial atau lemah untuk diimplementasi ke strategi politik tertentu.
Variabel (atau varian) lain yang terkait dengan religi, seperti fragmentasi suara berdasar denominasi gereja dan basis etnis (bersama sebaran, harus dimasukkan ke dalam perhitungan strategi parpol dan para politikus.
Sama halnya dengan pemetaan dan analisis sosial konstituen dan calon berdasar tingkat ekonomi, pendidikan, penerimaan, serta popularitas berdasarkan umur dan jenis kelamin; atau pemetaan dan analisis terhadap paguyuban-paguyuban masyarakat yang berpotensi menjadi lumbung suara beserta efektifitasnya; dan aspek-aspek terkait lain.
Berkenaan dengan variabel religi, sebagai sebuah pendekatan, dapat pula memperhitungkan dan memprediksi isu-isu kualitatif yang berkembang di masyarakat.
Walau, harus diingat isu-isu tersebut cenderung ‘‘tidak sehat’’ ketika digunakan mengeskalasi tingkat partisipasi pemilih, sebab biasanya erat berhubungan dengan pemanfaatan emosi atau psikologi massa yang sulit dikontrol kelanjutannya.
Kekuatiran pengunaan variabel religi sebagai dasar strategi juga berhubungan dengan fakta bahwa praktek umum demokrasi di Indonesia masih menunjukkan, kerap para politikus lebih mementingkan kemenangan dibanding menjadikan Pemilu (Pilkada) sebagai media edukasi, survei penentuan kebijakan publik, pembacaan peluang di masa datang, bahkan investasi sosial.
Sikap yang sama, celakanya juga sejalan dengan persepsi di tingkat konstituen.
Padahal, politik bukanlah cuma soal menang-kalah dan Kota Manado sebagai suatu satuan sosial-politik juga tidak selayaknya hanya sekadar memperoleh nakhkoda berdasar hasil Pilkada.
Berkaca dari Pemilu 2019, di Kota Manado idealisasi politik sebagai ikhtiar dan praktek luhur masih jauh dari harapan.
Anekdot kalah maar untung (kalah tapi menang) adalah sinisme terhadap praktek politik yang (harus diakui dengan lapang dada) menjadi hanya demi kepentingan pribadi parpol atau para politikus semata.
Praktek ini, tidak hanya di Pemilu 2019 lalu, tampaknya sudah menjadi sesuatu yang galib dan biasa saja di Kota Manado.
Maka, partisipasi politik di kota ini memang harus terus didorong tidak serta-merta hanya sebagai turun memilih di kotak suara, melainkan berperan bersama-sama mencapai keseimbangan antar kelompok (terutama religi) dan strategi komprehensif kemaslahatan umum.
Agar siapapun politikus yang terpilih, sebagai anggota DPRD atau Walikota-Wawali Manado, bukan dipersepsikan sebagai perwakilan agama atau denominasi tertentu, melainkan hasil yang adil dari keseimbangan dan kemerataan distribusi politik.
Keseimbangan dan kemerataan itu menjadi penting dalam politik representasi yang dipraktekkan di Indonesia saat ini, karena dominasi berlebihan satu kekuatan sangat berbahaya.
Sebab, politik memang bukan sekadar menang-kalah, terpilih atau tidak. Diplomasi juga politik.
Penentuan-distribusi-eksekusi anggaran juga politik.
Dan pengawasan konstituen, dimana masyarakat diberi tempat lebih terhormat dan accessible ‘‘memarahi’’ atau ‘’mengkoreksi’’ kebijakan pemerintah, juga politik.
Dapat dibayangkan, di masyarakat dengan distribusi kekuatan politik timpang dan tak sejalan dengan potensi yang ada, potensial melahirkan ketidak-sesuaian distribusi anggaran dalam hal geografis, kelompok sosial, waktu, tempat, dan juga sasaran.
Implikasinya berujung pada urusan kualitas kesehatan, pendidikan, akses jalan, sampah, hingga perihal rekreasional masyarakat, dimana kelompok satu mendapat yang lebih baik—bukan sama rata—daripada yang lain.
Kelompok dalam pengertian ini berarti lebih luas dari hanya berdasar basis regili mainstream.
Dominasi politik, dalam tingkat tertentu harus diwaspadai akan mendorong resistensi-resistensi yang merepotkan, membuang-buang waktu dan kesempatan, serta memakan biaya finansial dan sosial.
Bagi masyarakat Kota Manado sebagai suatu satuan sosial, distribusi kekuatan politik yang lebih merata sesuai potensi masing-masing menjadi sangat penting demi memungkinkan kontrol terhadap kekuasaan (dan karenanya juga anggaran serta kualitas sosial secara menyeluruh).
Sebagai kota melting pot, kosmopolit, bercampur-baur-kohesif secara sosial sejak berdirinya kota ini, di Pilkada 2020 berpartisipasi menyeimbangkan kekuatan politik berdasarkan potensinya, jelas lebih strategis nilainya dibandingkan kemenangan satu pasangan calon dari kelompok tertentu.
Politik di Kota Manado, mau atau tidak, pada akhirnya bukan cuma perkara terpilih atau tidaknya, menang atau kalahnya seorang politikus (tak peduli latar religi, etis, dan strata sosial-ekonomi,nya) di kontestasi politik. Sedemikian halnya, data statistik demografi politik Kota Manado dari proses dan hasil Pemilu 2019 jelas pula bukan soal angka semata.