Haryanto dan Nono S.A. Sumampouw: Variabel Religi Pilkada Manado 2020
Data proses dan hasil Pemilu 2019, secara khusus di Kota Manado, yang dikumpulkan dan dianalisis oleh SRaD (Shaad Research and Development)
Masalahnya, fakta ini kurang terbaca (atau malah diabaikan) secara statistic karena praktek politik praktis di kalangan umat Muslim yang cenderung berhenti pada data-data umum semata.
‘’Bukan Cuma Soal Itu’’
Temuan riset SRaD itu hanyalah bagian sangat kecil, umum, dan menggunakan metode statistik sederhana untuk dapat digunakan menentukan strategi yang bisa diekploitasi dari varibel religi demi memaksimalkan potensi suara masyarakat di Pilkada 2010.
Turunan dari varibel ini, yang tak kurang penting.
Misalnya adalah sebaran geografis pemilih berdasar Dapil, kecamatan, bahkan tingkat kelurahan/desa; atau sebaran berbasis parpol; hingga dapat diketahui titik potensial atau lemah untuk diimplementasi ke strategi politik tertentu.
Variabel (atau varian) lain yang terkait dengan religi, seperti fragmentasi suara berdasar denominasi gereja dan basis etnis (bersama sebaran, harus dimasukkan ke dalam perhitungan strategi parpol dan para politikus.
Sama halnya dengan pemetaan dan analisis sosial konstituen dan calon berdasar tingkat ekonomi, pendidikan, penerimaan, serta popularitas berdasarkan umur dan jenis kelamin; atau pemetaan dan analisis terhadap paguyuban-paguyuban masyarakat yang berpotensi menjadi lumbung suara beserta efektifitasnya; dan aspek-aspek terkait lain.
Berkenaan dengan variabel religi, sebagai sebuah pendekatan, dapat pula memperhitungkan dan memprediksi isu-isu kualitatif yang berkembang di masyarakat.
Walau, harus diingat isu-isu tersebut cenderung ‘‘tidak sehat’’ ketika digunakan mengeskalasi tingkat partisipasi pemilih, sebab biasanya erat berhubungan dengan pemanfaatan emosi atau psikologi massa yang sulit dikontrol kelanjutannya.
Kekuatiran pengunaan variabel religi sebagai dasar strategi juga berhubungan dengan fakta bahwa praktek umum demokrasi di Indonesia masih menunjukkan, kerap para politikus lebih mementingkan kemenangan dibanding menjadikan Pemilu (Pilkada) sebagai media edukasi, survei penentuan kebijakan publik, pembacaan peluang di masa datang, bahkan investasi sosial.
Sikap yang sama, celakanya juga sejalan dengan persepsi di tingkat konstituen.
Padahal, politik bukanlah cuma soal menang-kalah dan Kota Manado sebagai suatu satuan sosial-politik juga tidak selayaknya hanya sekadar memperoleh nakhkoda berdasar hasil Pilkada.
Berkaca dari Pemilu 2019, di Kota Manado idealisasi politik sebagai ikhtiar dan praktek luhur masih jauh dari harapan.
Anekdot kalah maar untung (kalah tapi menang) adalah sinisme terhadap praktek politik yang (harus diakui dengan lapang dada) menjadi hanya demi kepentingan pribadi parpol atau para politikus semata.
Praktek ini, tidak hanya di Pemilu 2019 lalu, tampaknya sudah menjadi sesuatu yang galib dan biasa saja di Kota Manado.
Maka, partisipasi politik di kota ini memang harus terus didorong tidak serta-merta hanya sebagai turun memilih di kotak suara, melainkan berperan bersama-sama mencapai keseimbangan antar kelompok (terutama religi) dan strategi komprehensif kemaslahatan umum.
Agar siapapun politikus yang terpilih, sebagai anggota DPRD atau Walikota-Wawali Manado, bukan dipersepsikan sebagai perwakilan agama atau denominasi tertentu, melainkan hasil yang adil dari keseimbangan dan kemerataan distribusi politik.
Keseimbangan dan kemerataan itu menjadi penting dalam politik representasi yang dipraktekkan di Indonesia saat ini, karena dominasi berlebihan satu kekuatan sangat berbahaya.
Sebab, politik memang bukan sekadar menang-kalah, terpilih atau tidak. Diplomasi juga politik.
Penentuan-distribusi-eksekusi anggaran juga politik.
Dan pengawasan konstituen, dimana masyarakat diberi tempat lebih terhormat dan accessible ‘‘memarahi’’ atau ‘’mengkoreksi’’ kebijakan pemerintah, juga politik.
Dapat dibayangkan, di masyarakat dengan distribusi kekuatan politik timpang dan tak sejalan dengan potensi yang ada, potensial melahirkan ketidak-sesuaian distribusi anggaran dalam hal geografis, kelompok sosial, waktu, tempat, dan juga sasaran.
Implikasinya berujung pada urusan kualitas kesehatan, pendidikan, akses jalan, sampah, hingga perihal rekreasional masyarakat, dimana kelompok satu mendapat yang lebih baik—bukan sama rata—daripada yang lain.
Kelompok dalam pengertian ini berarti lebih luas dari hanya berdasar basis regili mainstream.
Dominasi politik, dalam tingkat tertentu harus diwaspadai akan mendorong resistensi-resistensi yang merepotkan, membuang-buang waktu dan kesempatan, serta memakan biaya finansial dan sosial.
Bagi masyarakat Kota Manado sebagai suatu satuan sosial, distribusi kekuatan politik yang lebih merata sesuai potensi masing-masing menjadi sangat penting demi memungkinkan kontrol terhadap kekuasaan (dan karenanya juga anggaran serta kualitas sosial secara menyeluruh).
Sebagai kota melting pot, kosmopolit, bercampur-baur-kohesif secara sosial sejak berdirinya kota ini, di Pilkada 2020 berpartisipasi menyeimbangkan kekuatan politik berdasarkan potensinya, jelas lebih strategis nilainya dibandingkan kemenangan satu pasangan calon dari kelompok tertentu.
Politik di Kota Manado, mau atau tidak, pada akhirnya bukan cuma perkara terpilih atau tidaknya, menang atau kalahnya seorang politikus (tak peduli latar religi, etis, dan strata sosial-ekonomi,nya) di kontestasi politik. Sedemikian halnya, data statistik demografi politik Kota Manado dari proses dan hasil Pemilu 2019 jelas pula bukan soal angka semata.