PPDB
Dampak Sistem Zonasi, Pelajar Ini Tak Diterima di SMP Favorit, 15 Piagam Dibakar
Ada siswa yang kecewa karena tidak diterima di SMP negeri impiannya karena sistem zonasi.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi mulai berdampak.
Ada siswa yang kecewa karena tidak diterima di SMP negeri impiannya karena sistem zonasi.
Y (12) siswa berprestasi sebuah SD negeri di Pekalongan membakar belasan piagam penghargaan pada Minggu (23/06/2019) lalu.
Aksi ini sempat viral di sosial media. Y putra pasangan Sugeng Witoto (50) dan Sukoharti (45).
Ayah Y, Sugeng Witoto membenarkan aksi nekat anak ketiganya itu karena kecewa tidak diterima di sekolah favoritnya.
Y merasa piagam-piagam tersebut tidak berlaku lagi dengan kondisi saat ini.
Baca: Saat Hamil Anak Perempuan Ibu Akan Mengidam Gula atau Makanan Manis, Ini Tanda Lainnya
Baca: Izin Dokter Ini Dicabut Karena Menggunakan Sperma Miliknya Untuk Membuahi Pasien
Baca: Ini Sikap Habib Rizieq Syihab Menjelang Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2019
Baca: Ulama Indonesia, Syekh Nawawi Al-Bantani Pernah Bikin Gempar Arab Saudi, Kakek Buyut KH Maruf Amin
Piagam-piagam tersebut merupakan berbagai kejuaraan seni dan agama yang diikuti dan beberapa menyabet juara satu tingkat Kabupaten Pekalongan.
Dia menjelaskan, ada sekitar 15 piagam penghargaan yang dibakar.
Berbagai kejuaran yang diikuti dan berhasil menyabet juara satu diantaranya seperti menulis halus, cerita islami, tilawah, adzan, nyanyi solo, nyanyi grup, dokter kecil.
"Anak saya juga selalu masuk dan memiliki ranking di kelasnya. Mungkin berpikiran piagam-piagam tidak membantu dirinya masuk ke SMP Negeri 1 Kajen (sekolah yang diinginkan), jadi akhirnya dibakar," kata Sugeng saat ditemui di kediamannya, Rabu (26/6/2019), seperti ditulis Tribun Jateng.
Baca: Dicium Sosok Pria Tampan Ini, Jessica Mila: Enak Banget Orangnya Sampai Deg-degan
Baca: Mantan Pacar Incess Datang, Keluarga Syahrini Menangis saat Syahrini & Reino Lagi Bulan Madu
Baca: Begini Tindakan yang Bakal Dilakukan KPU jika MK Tolak Permohonan Pihak Prabowo-Sandiaga
Baca: Prabowo-Sandi Nobar Putusan MK di Kertanegara, AHY-Demokrat Pilih Tak Hadir
Menurut Sugeng, anaknya mendaftar ke SMPN 1 Kajen dengan menggunakan sistem zonasi, karena wilayah rumahnya berjarak 2000 meter dari sekolahan yang didaftar.
Minimnya sosialisasi Dinas pendidikan terkait PPDB yang melalui tiga jalur yakni jalur zonasi, jalur berprestasi dan jalur perpindahan orangtua, membuat anaknya terjebak dalam zonasi.
"Hari pertama pendaftaran saya mengantarkan anaknya melakukan pendaftaran online namun melalui jalur zonasi.
Namun oleh guru dan kepala sekolah dasar, disarankan untuk masuk jalur prestasi.
Baca: VIDEO VIRAL Sosok Ibu Keluarkan Senjata Laras Panjang saat Berdansa, Terbawa Suasana, Ini Targetnya
Baca: Rekonsiliasi Pasca Putusan MK: Begini Komentar Kubu Jokowi dan Prabowo
Baca: Tak Tahu Saksinya Berstatus Tahanan Kota: Ini yang Dilakukan Tim Hukum Prabowo Jelang Putusan MK
Baca: Viral Perumahan di Atas Gedung Mall, Fasilitas Mewah, Kolam Renang hingga Jalan Aspal, Ini Potretnya
Baca: Gubernur Olly Temui Tim OSN SMA Perwakilan Sulut Berlaga di Jakarta
Di hari kedua, mendaftar ke jalur prestasi namun tidak bisa, mengingat sudah mendaftar di jalur zonasi.
"Saya, sebagai orangtua kecewa. Kita sudah mendaftar ke jalur prestasi kata pihak sekolah (SMP) tidak bisa, harusnya daftar di sekolah di luar zonasi," jelasnya.
Dirinya mengungkapkan kendati kecewa dengan sistem yang ada, ia tetap melanjutkan anaknya masuk sekolah swasta agar tidak kecewa berkelanjutan.
"Anak saya sudah di daftarkan ke sekolah SMP Muhammadiyah 1 Kajen dan seharusnya dengan sistem seperti ini pihak pemerintah menyediakan banyak sekolah negeri dulu,"ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Pekalongan, Sumarwati saat dihubungi Tribunjateng.com belum memberikan keterangan terkait dengan gagalnya siswa yang masuk ke jalur prestasi tersebut. (*)
Ombudsman Menolak
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menerapkan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019.
Namun hingga saat ini hal tersebut masih menuai berbagai reaksi masyarakat.
Sebagian besar reaksi tersebut bersifat kontra, terutama dari orang tua Calon Peserta Didik Baru (CPBD).
Banyak orang tua murid yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan sekolah yang sesuai dengan keinginan.
Sistem zonasi yang diterapkan Kemdikbud ini juga menuai kritik yang bersifat kontra dari berbagai pihak.
Ombudsman Republik Indonesia menolak sistem zonasi yang diterapkan Kemdikbud dalam PPDB 2019.
Penolakan ini dilakukan oleh Ombudsman setelah mendapat banyak aduan dari masyarakat, terutama orang tua CPBD.
Penolakan ini juga diputuskan oleh Ombudsman dengan alasan belum meratanya fasilitas dan mutu sekolah.
Komisioner Ombudsman, Ahmad Suaedy, menilai banyak orangtua murid yang ingin anaknya tetap bisa menempuh pendidikan di sekolah yang dianggap favorit meskipun sekolah itu berjarak relatif jauh dari tempat tinggalnya.
"Mentalitas favoritisme itu disebabkan kurangnya penyebaran dan pemerataan fasilitas dan mutu sekolah di seluruh pelosok Indonesia sehingga sebagian masyarakat mengkhawatirkan akan mutu pendidikan anaknya," kata Suaedy dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Rabu (19/6/2019).
Suaedy mengatakan, Ombudsman mendukung sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan.
Namun, pemerintah perlu segera merealisasikan pemerataan fasilitas dan mutu pendidikan yang lebih konkret di Tanah Air.
"Pemerintah juga secara keseluruhan perlu bekerja sama lebih koordinatif dengan pemerintah daerah dalam usaha pemerataan fasilitas dan mutu pendidikan tersebut," kata dia.
Selain itu, Ombudsman RI juga menyoroti Kemendikbud yang kurang melakukan sosialisasi terkait sistem zonasi ini.
Menurut dia, seharusnya Kemendikbud melakukan sosialisasi yang lebih gencar agar masyarakat bisa paham.
"Kemendikbud seharusnya tegas dalam menegakkan aturan tentang sistem zonasi, tetapi juga komunikatif dengan masyarakat dan Kementerian Dalam Negeri serta pemerintah daerah sehingga tujuan yang baik dalam penerapan zonasi tersebut akan dipahami oleh masyarakat dan pemerintah daerah," kata dia.
Pengamat pendidikan menilai sistem zonasi melanggar UU Sisdiknas
pengamat pendidikan Darmaningtyas, sistem zonasi PPDB ini berpotensi melanggar undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Penerimaan murid baru menjadi kewenangan sekolah, dengan kata lain kebijakan zonasi itu melanggar UU Sisdiknas yang seharusnya (aturan itu) dilakukan Kemendikbud," kata Darmaningtyas kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (19/6/2019) siang.
Dia menjelaskan, Pasal 16 Ayat (1) Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) bertentangan dengan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam ayat Permendibud tersebut, tertulis bahwa semua sekolah di bawah kewenangan pemerintah wajib mengalokasikan 90 persen kuota siswa barunya untuk pendaftar yang berdomisili di zona dekat sekolah.
"Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.”
Sementara pasal dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa standar pelayanan yang digunakan adalah prinsip manajemen berbasis sekolah.
“Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”
Darmaningtyas menyebut, kegiatan PPDB merupakan salah satu dari manajemen sekolah yang dimaksud.
Para calon siswa sedang mengantri untuk menyerahkan berkas persyaratan masuk SMK Negeri 1 Kota Magelang, di aula sekolah setempat, Selasa (18/6/2019).
Karena bertentangan itulah, Darmaningtyas menilai, tidak semestinya pemerintah pusat mengendalikan otonomi tersebut melalui peraturan yang diberlakukan secara nasional.
"Jadi jangan diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat itu hanya kasih guideline bahwa dalam penerimaan murid baru perlu memperhatikan aspek zonasi, tapi detailnya, berapa zonasinya, itu biarkan menjadi kewenangan sekolah," ucap Darmaningtyas.
Permendikbud tentang PPDB tahun 2018 itu mewajibkan setiap sekolah untuk mengalokasikan 90 persen kuotanya bagi pendaftar dari zona sekitarnya.
Akan tetapi, jarak yang ditetapkan sebagai zona itu menjadi kewenangan masing-masing daerah untuk menentukan. Hal ini karena perbedaan kondisi geografis, ekonomi, dan sosial masing-masing daerah yang berlainan.
"Kan Pak Jokowi katanya mau memberikan otonomi daerah atau sekolah yang seluas-luasnya, tapi kenapa justru sentralistik (kewajiban kuota 90 persen)," ucap Darmaningtyas.
Darmaningtyas mendukung diberlakukannya sistem zonasi, tetapi ia menilai besaran persentase zonasi tersebut menjadi kewenangan sekolah, bukan pemerintah pusat, apalagi dengan besaran kuota 90 persen.
"Saya intinya setuju zonasi, tetapi tidak 90 persen, itu kebijakan yang menyesatkan. Mungkin 50:50, lah, sehingga bisa mengakomodasi dua belah pihak (siswa di sekitar sekolah dan siswa berprestasi)," ujar Darmaningtyas.
Menurut dia, persentase 90 persen ini tidak memberi kesempatan pada anak yang memiliki kepandaian tertentu, tetapi posisinya jauh dari sekolah negeri.
"Celaka lagi kalau itu adalah anak orang miskin. Anaknya sudah pintar, seharusnya bisa sekolah negeri, tetapi karena letak rumahnya berjauhan dengan sekolah dia enggak bisa diterima di sekolah negeri," tuturnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kontra Sistem Zonasi PPDB, Ombudsman Menolak, Pengamat Sebut Kemdikbud Langgar UU Sisdiknas dan di Tribunpekanbaru.com dengan judul Kecewa Tak Diterima SMP Favorit Karena Sistem Zonasi, Pelajar Ini Bakar Belasa Piagam Penghargaan