KPK Ingin Sjamsul Nursalim dan Istri Pulang dari Singapura: Begini Dana BLBI yang Dibawa Lari
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, istrinya, sebagai tersangka.
Pasangan suami-istri itu diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Baca: Panduan Cara Mengisi Form Pendaftaran SBMPTN 2019, Simak Video Lengkapnya
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan setelah proses penyeIidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK membuka penyidikan baru dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad, yang telah kena vonis 13 tahun pernjara pada 24 September 2018 namun putusan kasasi lebih berat menjadi 15 tahun.
"KPK kemudian menetapkan SJN (Sjamsul Nursalim), selaku pemegang saham pengendali BDNl dan ITN (Itjih Nursalim) selaku swasta sebagai tersangka," ujar Saut di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (10/6).
Saut mengatakan Sjamsul Nursalim telah diperkaya Rp 4,58 triliun oleh tindakan Syafruddin Arsyad Temenggung sesuai dengan pertimbangan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Saat ini, Sjamsul dan Itjih berada di Singapura meskipun keduanya telah resmi ditetapkan KPK sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menegaskan agar Sjamsul dan Itjih bersikap kooperatif. KPK mengharapkan Sjamsul dan Itjih dapat segera kembali ke Jakarta.
KPK, telah mengirimkan surat panggilan ke 4 lokasi, antara lain The Oxley, Singapura; Cluny Road, Singapura; Head Office of Giti Tire Pte.Ltd, Singapura; dan Rumah Sjamsul dan Itjih di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Baca: Gugatan Pilpres 2019, BPN Sebut Maruf Amin Langgar UU Pemilu, Ini Alasannya
"KPK telah mengirimkan surat secara patut pada alamat yang tercatat secara formil dan alamat Iain di Indonesia dan Singapura. Surat permintaan keterangan tersebut pun telah diumumkan secara terbuka ke publik melalui media massa di Indonesia," kata Laode.
Sebelumnya, Kuasa hukum pengusaha Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan mengaku tidak mengetahui adanya penetapan tersangka terhadap kliennya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut Otto, secara pribadi dia sendiri baru mendapatkan kuasa dari Sjamsul Nursalim sebagai kuasa hukum untuk gugatan perdata melawan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia BPK RI di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang.
"Saya baru dengar kalau sudah ada penetapan tersangka oleh KPK. Tapi saya tidak bisa komentari lebih jauh, karena kapasitas saya saat ini adalah kuasa hukum Pak Sjamsul Nursalim untuk perkara gugatan perdata melawan BPK di PN Tangerang. Saya belum mendapatkan kuasa untuk perkara pidananya," ungkap Otto.
Sebagai pakar hukum pidana, Otto Hasibuan melihat tidak ada relevansinya antara kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI yang dikeluarkan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dengan Sjamsul Nursalim (SN).
"Saya melihat sebenarnya tidak ada hubungannya jika perkara SAT kemudian dikaitkan kembali dengan SN, karena penyelesaian BLBI yang melibatkan SN sudah selesai pada tahun 1998 sesuai perjanjian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement)," katanya.
"Bahkan hal tersebut telah ditegaskan pemerintah dalam akta notaris yang dibuat sekitar Mei 1998. Sementara SKL yang diterbitkan oleh SAT hanya penegasan di tahun 2004. Artinya kalau mau dihubungkan dengan SN, secara hukum kasusnya sudah daluwarsa," ujar Otto yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Terkait soal aset BLBI yang dikelola oleh Perusahaan Pengelola Aset yang menjual tagihan hutang petambak pada tahun 2007 kliennya tidak bisa dipersalahkan, karena kliennya tersebut sudah menyelesaikan segala kewajibannya di tahun 1998.
"Dengan dikeluarkannya MSAA, segala kewajiban sudah diselesaikan SN dan pemerintah sudah memberikan jaminan tidak akan menyelidiki dan menuntut SN secara pidana. Lagi pula masa barang yang sudah dijual oleh PPA ditagihkan ke SN," ujar Otto.
Sebelumnya Otto Hasibuan mengungkapkan pada awalnya kliennya, SN sama sekali tidak ada niat untuk menggugat I Nyoman Wara selaku auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta BPK sebagai institusi yang menerbitkan laporan hasil audit No.12/LHP/XXI/08/2017.
Seperti diketahui, laporan hasil Audit BPK 2017 itu pula yang kemudian dijadikan dasar oleh KPK untuk menjerat SAT atas dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada SN selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Baca: Pilkada Minsel Bisa Diikuti Tiga Pasangan Calon, Prediksi Fanley Pangemanan
"Klien kami sebenarnya tidak ada niat untuk menggugat BPK, namun setelah mencermati pertimbangan hakim dalam perkara SAT, kekeliruan atau kesalahan fatal dalam proses Audit BPK 2017 sama sekali tidak mendapat perhatian. Hasil audit tersebut diterima begitu saja," ungkap Otto beberapa waktu yang lalu menjawab pertanyaan wartawan.
Otto juga menjelaskan, gugatan dengan nomor perkara 144/Pdt.G/2019/PN Tng yang telah didaftarkan sejak (12/2/2019) tersebut didaftarkannya ke PN Tangerang karena I Nyoman Wara selaku Tergugat I sendiri berdomisili di Tangerang.
I Nyoman Wara juga pernah dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Jaksa KPK saat persidangan SAT, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, (6/8/2018) lalu. Ketika ditanya kenapa pihak Sjamsul Nursalim hanya menggugat BPK, Otto menegaskan gugatan diajukan karena ada isi Audit BPK 2017 yang dibuat oleh pihak Tergugat tersebut banyak merugikan kliennya.
"Alasan pertama, karena audit BPK tahun 2017 itu menyimpulkan adanya kerugian negara terkait misrepresentasi atas MSAA yang dilakukan klien kami. Padahal audit tersebut dilaksanakan dengan melanggar UU dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," kata Otto.
Alasan kedua, pihak Tergugat I, sebagai auditor BPK dalam pelaksanaan auditnya dinilai tidak independen, objektif dan profesional karena membatasi diri hanya menggunakan data dari satu sumber, yaitu penyidik KPK, tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait. Padahal menurut Otto, konfirmasi dan klarifikasi adalah hal essential yang wajib dilakukan dalam suatu proses audit.
Alasan ketiga, akibat pelanggaran atau kesalahan dalam melakukan audit tersebut menyebabkan kesimpulan laporan audit BPK 2017 bertentangan dengan laporan audit BPK sebelumnya, yaitu laporan audit investigasi BPK 2002 dan audit BPK 2006 yang intinya menyatakan klien kami telah menyelesaikan kewajibannya berdasarkan MSAA.
Nikmati Dana BLBI Rp 4,5 Triliun
KPK telah resmi menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sjamsul diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus ini.
Sjamsul dan Itjih, istrinya, dijerat dengan pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK sudah memanggil Sjamsul dan Itjih sebanyak tiga kali pada 2018 silam. Namun pasangan suami istri tidak memenuhi panggilan penyidik KPK.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan sebagai pemenuhan hak tersangka, pada 17 Mei 2019 lembaganya telah mengirimkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan tersangka Sjamsul dan Itjih ke sejumlah lokasi.
"Dikarenakan tersangka SJN (Sjamsul Nursalim) diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi ini, maka KPK akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara," kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (10/6).
Laode memaparkan perkara ini berawal pada 21 September 1998 silam. Saat itu, BPPN dan Sjamsul melakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Dalam MSAA tersebut, kata Laode, disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan SJN sebagai pemegang saham pengendali serta sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.
"Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNl adalah sebesar Rp 47.258.000.000.000 Kemudian kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18.850.000.000.000 termasuk di antaranya: pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun," kata Laode.
Laode menyebutkan aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta yang bersangkutan menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN. Namun Sjamsul menolak.
"Pada bulan Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang penambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan Pihak Sjamsul yang diwakili istrinya, Itjih serta pihak lain pada rapat tersebut Itjih menyampaikan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi," katanya.
Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI Megawati Soekarnoputri agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (penghapusbukuan).
Namun hal itu dilakukan dengan tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul. Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.
Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan, pada 12 April 2004, Syafrudin Arsyas Temenggung dan Itjih menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisi pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.
"Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat No.SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul," kata Laode. (tribun network/irp)