Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kasus LGBT

Mantan Anggota Polri yang Dipecat karena Gay Ajukan Banding atas Putusan PTUN

Polisi berpangkat brigadir itu diduga melanggar kode etik karena dianggap melakukan perbuatan seks ‘menyimpang’.

SHUTTERSTOCK
Ilustrasi. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang telah menyatakan tidak dapat menerima gugatan yang dilayangkan TT, mantan anggota Polri yang dipecat karena gay, terhadap Polda Jateng.

PTUN mengeluarkan putusan tersebut pada Kamis (23/5/2019), karena menganggap gugatannya prematur.

Melansir warta Voice of America, Senin (27/5/2019), majelis hakim menilai mantan polisi itu belum menempuh upaya banding di internal kepolisian melawan surat pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) dari Kapolda Jateng terhadap dirinya.

Ma’ruf Bajammal, pengacara TT, mengatakan, putusan hakim itu janggal sebab di kepolisian tidak ada mekanisme banding internal yang dimaksud.

“Oleh karena itu, putusan majelis hakim tersebut tidak bisa kita terima dengan nalar. Karena bagaimana mungkin seseorang yang sudah dianggap diberhentikan dari dinas Polri terus kemudian bisa kembali mengajukan keberatan. Padahal secara peraturan dan praktik dalam institusi Polri, itu memang sudah tidak ada,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (26/5/2019).

Pengacara publik LBH Masyarakat ini berharap Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN) akan memeriksa perkara ini atau memerintahkan PTUN Semarang melakukannya.

Baca: Oknum Polisi Dipecat Karena Ketahuan Gay, Ia Malah Mengajukan Gugatan Ke PTUN Karena Hal Ini

Baca: Polisi 32 Tahun Dipecat Setelah Ketahuan Gay, Berawal dari Valentine dan Handphone yang Diperiksa

Kuasa hukum TT juga akan mengadu ke Ombudsman terkait tidak adanya mekanisme banding internal di Polri.

Padahal hal tersebut sudah dimandatkan UU Administrasi Pemerintahan, ujar, Ma’ruf, karenanya Polri diduga melakukan maladministrasi.

“Itu bagian dari maladministrasi institusi kepolisian yang kami anggap merugikan klien kami. Atas dasar absennya regulasi itu, kami akan membuat pengaduan ke Ombudsman RI,” tambahnya.

Orientasi Seksual Berbeda Otomatis Langgar Kode Etik?

Dalam catatan LBH Masyarakat, pemberhentian TT bermula pada Februari 2017. Polisi berpangkat brigadir itu diduga melanggar kode etik karena dianggap melakukan perbuatan seks ‘menyimpang’.

Dalam sidang komite etik, TT dianggap melanggar Pasal 7 terkait ‘menjaga citra, soliditas, dan kehormatan Polri’ serta Pasal 11 tentang ‘mematuhi norma hukum, agama, kesusilaan, dan kearifan lokal’.

Namun, Ma’ruf Bajammal mengatakan pasal-pasal tersebut bersifat karet. Sebab, orientasi seksual TT tidak berpengaruh terhadap profesionalitasnya sebagai aparat.

Baca: 7 Fakta Taufik Gani, Warga Manado Curi 27 iPhone di Medan: Pria Gay Suka Pamer & Pernah Hina Jokowi

Baca: Pangeran Abdul Azis Anak dari Sultan Brunei Ternyata Memiliki Hobi Berpesta dengan LGBT

“Ini yang kami pertanyakan. Karena pasalnya tidak secara konkret dan eksplisit menyebutkan bahwa dilarang anggota Polri memiliki orientasi seksual minoritas. Bagi kami ini sangat dipaksakan untuk dikenakan ke hal-hal yang seperti ini,” jelasnya.

Dosen Hukum Unika Atma Jaya Asmin Fransiska mengatakan, standar moral pejabat harusnya dilihat dari aspek hukum, bukan orientasi seksualnya.

Ujarnya, penjelasan ‘tercela’ sudah tergambarkan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yakni berarti melakukan pelanggaran hukum, melanggar ketentuan pidana, atau pernah dipidana minimal lima tahun.

“Putusan MK sudah clear bahwa tidak ada definisi soal orientasi seksual. Definisi soal standar moral pejabat itu kita lihat dari tiga kategori itu. Kasus TT, yang bersangkutan bukan pelaku tindak pidana, tidak ada hukuman tindak pidana yang menyerang TT, dan juga tidak pernah menjalani hukuman penjara lima tahun,” jelasnya.

Asmin mendorong Polda Jateng mengedepankan bukti ilmiah dan tidak melakukan diskriminasi.

“Jika memang orientasi seksual seseorang mempengaruhi performa mereka, maka buktikan itu, lakukan pengujian ilmiah. Kepastian hukum menjadi kunci penting dalam mengurangi pelanggaran diskriminasi dan ketidaksamaan di depan hukum,” katanya lagi.

Baca: Brunei Resmi Terapkan Hukuman Rajam LGBT hingga Tewas

Baca: 8 Rekor Baru yang Tercatat dalam Pemilu Paruh Waktu AS, dari Gay hingga Perempuan Muslim Pertama

Tekanan Terhadap Minoritas Seksual Naik Tajam Sejak 2016

Organisasi Arus Pelangi mencatat, kasus TT adalah kali ketiga pemecatan atas dasar orientasi seksual berbeda terjadi di Indonesia.

Riska Carolina dari Divisi Advokasi Arus Pelangi mengatakan, kasus TT terjadi di tengah meningkatnya diskriminasi terhadap minoritas seksual LGBT.

Pada 2016-2017 jumlah kasus naik tajam sampai 172 kasus. Padahal selama 2006-2015 Hanya ada 72 kasus saja.

“Ini meningkat hanya dalam dua tahun terakhir, pada 2016-2017. Apa masalahnya negara dengan LGBT?” katanya.

Di samping itu, dia mencatat, terdapat 45 perda diskriminatif dan 20 pelarangan kegiatan diskusi LGBT di universitas.

Karena itu dia menagih kewajiban pemerintah untuk melindungi kelompok rentan ini.

“Ayolah, kita juga sama-sama warga negara Indonesia, bayar pajak juga. Ini kenapa urusan kamar seseorang menjadi permasalahan?” ujarnya. (*)

Sumber: VOA

BERITA POPULER:

Baca: Viral, Pocong Muncul Usai Tarawih & Subuh, Warga Takut Hingga Saling Tabrak di Jalan, Ini Sosoknya

Baca: Istri Penulis Buku Jokowi People Power Komplain Amien Rais, Layangkan Surat Terbuka, Ini Isinya

Baca: DAFTAR Calon Menteri Kabinet Jokowi: Ada Gubernur Olly, Sandiaga Uno Bersaing dengan Tuama Manado

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved