Jika Merugikan Bakal Ditolak, GMIM Pelajari Konten RUU Pesantren
BPMS GMIM tengah melakukan kajian terhadap rancangan undang-undang (RUU) pesantren dan pendidikan keagamaan.
Penulis: Christian_Wayongkere | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Badan pekerja majelis Sinode (BPMS) Gereja masehi Injili di Minahasa (GMIM) tengah melakukan kajian terhadap rancangan undang-undang (RUU) pesantren dan pendidikan keagamaan.
Menurut sekretaris umum (sekum) BPMS GMIM Pendeta Evert Andri Alfonsus Tangel STh MPdK, RUU itu sudah dibawa dan dibahas dalam Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST) GMIM ke-31 di Jemaat GMIM Sentrum, Wilayah Likupang Satu, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, yang berlangsung 12-15 November 2018.
"Jadi keputusan GMIM terkait RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagaimana yang diputuskan Sinode GMIM akan mempelajari konten dari RUU itu," kata Pdt Evert saat diwawancarai Tribunmanado.co.id, usai menjadi pembicara di katekisasi tahap III pelayan khusus (pelsus) wilayah Kema, Selasa (20/11/2018).
Menurutnya, yang dilakukan sinode GMIM terkait keberadaan RUU itu apakah memberikan keuntungan atau memberikan kerugian dalam pelaksanaannya, seperti pasal 69 dan 70.
Lanjut Pdt Evert pelaksanaan ibadah atau sekolah Minggu berdasarkan eksresi dari panggilan dan pengajaran gereja bagi anak-anak, sudah sejak dahulu kala telah dilaksanakan. Mulai aras anak sekolah Minggu, remaja hingga Pemuda.
"Melalui panggilan dan pengajaran kepada anak-anak di sekolah Minggu telah memberikan sumbangsih dalam kemajuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Karena lewat ibadah sekolah Minggu anak-anak bertumbuh menjadi remaja, pemuda dan kemudian menjadi pemimpin, tidak sedikit warga gereja kita menjadi pemimpin dimulai dari anak sekolah Minggu," urainya.
Secara tegas Sinode GMIM ingin menyampaikan realita itu merupakan pembuktian dari pelaksanaan kegiatan pendidikan di tingkat anak-anak di ibadah sekolah Minggu, remaja dan pemuda yang lama dilakukan GMIM.
Setelah mempelajari RUU GMIM akan mengambil sikap, kalau itu merugikan GMIM pasti akan ditolak.
Stefa BAN Liow senator asal provinsi Sulawesi Utara (Sulut), bersama dengan senator lainnya sudah mendatangi dirjen Binmas Kristen Kemenag RI menyampaikan protes keras atas RUU pesantren dan pendidikan keagamaan.
"Kami minta pasal 69 dan 70 dalam RUU itu di cabut," kata Liow kepada Tribunmanado.co.id usai membawakan materi tentang penatalayanan II (Gereja dan politik, lingkungan hidup) di katekisasi tahap III pelayan khusus (pelsus) GMIM Wilayah Kema 3.
Menurutnya asalan dia menolak RUU itu khususnya pasal 69 dan 70 karena terkesan negara mencampuri kepelayanan ibadah, RUU ini merupakan politik praktis.
Senator Stefa juga sudah memberi masukan ada pisahkan keterlibatan atau campur tangan pemerintah dalam sekolah Minggu, karena sekolah Minggu adalah pendidikan non formal bagian dari pelayanan peribadatan gereja.
Dijelaskannya RUU tentang pesantren dan pendidikan keagamaan menjadi UU adalah sesuatu proses yang terbilang panjang, ada mekanismenya seperti meminta masukkan berbagai kalangan.
Seperti tokoh masyarakat, tokoh agama didalamnya Kristen.
"Di samping itu ada uji sahih di kampus-kampus," tambahnya.
Lanjut penatua pria kaum bapa (PKB) di jemaat GMIM Imanuel Walian, dasar semangat penyusunan RUU itu berangkat dari tidak diaturnya praktik pendidikan keagamaan kristen dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional.
Pengaturan terkait pendidikan keagamaan Kristen sebagaimana diatur dalam RUU tentang pesantren dan pendidikan keagamaan Pasal 54 sampai 70 merupakan transformasi dari peraturan menteri Agama (PMA) RI nomor 7 tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan PMA nomor 27 tahun 2016 tentang pendidikan keagamaan kristen.
"Pasal 69 dan 70 yang menjadi perdebatan yang mengatur pendidikan sekoilah Minggu dan katekisasi dimintakan tidak dimasukkan, karena jika dimasukkan atau diatur adalah suatu kecerendungan membirokasikan pelayanan anak, remaja dan katekisasi yang sudah lama dilakukan kelembagaan gereja," tandasnya.
(Tribunmanado.co.id/Christian Wayongkere)