Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

GMIBM Desak Komisi VII DPR RI Ubah RUU yang Atur Gereja: Begini Alasan Ketua Sinode

Kontroversi Rancangan Undang-undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan belum berakhir.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO/CHRISTIAN WAYONGKERE
Rombongan DPR RI 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Kontroversi Rancangan Undang-undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan belum berakhir.

Desakan untuk menghilangkan dua pasal (pasal 69 dan 70), antara lain mengatur soal syarat sekolah minggu dan katekisasi, dari RUU itu makin kuat.

Sejumlah tokoh Kristen dari berbagai elemen memberikan masukan, kritik, saran dan pendapat terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, Senin (19/11/2018).

Ini dikemukakan dalam kunjungan kerja Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher, Anggota Komisi VII Bara Hasibuan dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama RI Thomas Pentury di Aula IAKN Manado di Desa Tateli Satu, Kecamatan Mandolang, Minahasa.

Pdt Nico Gara orang yang pertama mengajukan tangan ketika dibuka sesi tanya jawab. Pada awal keterangannya, dia senang dengan apa yang dikemukakan Ketua Komisi VIII DPR RI mengenai sekolah minggu tidak perlu masuk dalam RUU karena ada macam-macam bentuk.

Menurutnya, di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) tidak mengenal sekolah minggu. Dalam tata gereja dibilang pelayanan anak. Kemudian katekisasi dalam pemahaman dan pengalamannya menyusun buku katekisasi di GMIM dan sekarang tengah mengajar Katheketika di kampus IAKN Manado, katekisasi itu multimodel.

"Ada yang disebut doktrinal, doktrin khusus dalam bentuk pengajaran seperti di sekolah tapi lebih informal. Tidak formal, lebih nonformal. Itu model doktrinal," kata Pdt Gara.

Doktrin itu masih diterapkan dalam model liturgi atau liturgis, seperti ajaran tentang baptisan dalam liturgi.
Lanjut dia, ada beberapa ajaran lain, ada model yang disebut proklamasi, ada khotbah-khotbah yang bersifat doktrinal. Itu dalam khotbah bukan dalam bentuk pelajaran satu kelas.

Disamping ada model tematik. Model tematik ini punya cerita khas juga ada dalam bentuk ceramah dan khotbah.
"Jadi dari segi model saja itu multidimiensi. Katakan saja katekisasi itu multimodel tidak hanya dalam bentuk yang kita kenal dalam pendidikan formal," ujar dia.

Pendeta Nico Gara disalami peserta Sidang Majelis Sinode ke-79 GMIM, Senin (19/3/2018).
Pendeta Nico Gara disalami peserta Sidang Majelis Sinode ke-79 GMIM, Senin (19/3/2018). (TRIBUN MANADO/WARSTEF ABISADA)

Dia setuju dengan pemikiran Ketua Komisi VIII bahwa sebenarnya UU ini lebih sebagai political will pemerintah eksekutif dan legislatif untuk memberikan bantuan fasilitas penunjang bagi pendidikan formal dan informal.

"Misalnya guru-guru katekisasi, guru-guru atau pelayan anak-anak supaya boleh disamakan dengan penyuluh agama yang bersifat kategorial," kata dia.

Ketua Sinode GMIBM Pdt Christin Raintama Panguliman mengatakan, tidak perlu lagi Pendidikan Keagamaan dalam RUU itu. Cukup RUU Pesantren saja.

"Dari sudut pandang dan latar belakang RUU ini sebenarnya tidak ada persoalan. Ketika mengatur jumlah maka sudah masuk dalam mengatur jumlah orang beribadah. Anak sekolah minggu dan katekisasi bagian yang melekat dalam peribadatan gereja," ujar Pdt Christin.

Penolakan dua pasal RUU itu tak hanya datang dari Pesekutuan Geraja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Utara berpendapat serupa.

Ketua MUI Sulut, KH Abdul Wahab Abdul Gofur menilai, pasal dalam RUU yang menjadi polemik seharusnya hanya berlaku untuk pesantren. "Hanya berlaku untuk pesantren, " kata dia kepada tribunmanado via ponsel, Senin (19/11/2018) pagi.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved