Kisah Lucu dan Menegangkan di Sela-sela Kemuraman Pengkhianatan G30S PKI
53 tahun silam telah terjadi peristiwa pengkhianatan Gerakan 30 September 1965
Memang kerahasiaannya jadi berkurang, tapi apa boleh buat?
(Sinar Harapan, Jumat, 22 Oktober 1965)
Baca: Fakta Pendidikan di Sekolah-sekolah Israel, Sedikit Belajar Matematika dan Sains
TERLALU BERSEMANGAT?
Lain lagi yang terjadi di lingkungan media.
Entah karena begitu bersemangat dalam suasana mengganyang Gerakan 30 September, sebuah surat kabar memasang iklan ucapan selamat atas pengangkatan Pak Harto yang waktu itu panglima Kostrad menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dengan huruf-huruf yang mencolok terpampang di iklan itu bahwa Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno ....
Tentu saja wartawan surat kabar ybs. menjadi cukup sibuk meminta maaf ketika iklan itu disodorkan kepadanya oleh kepala perwira penerangan Kostrad saat itu.
(Kompas, Sabtu, 23 Oktober 1965)
Baca: Negara Kecil di Pasifik Ini Sangat Penting Bagi israel
KEJUTAN
Pagi-pagi buta tanggal 23 Oktober 1965 sebuah truk yang mengangkut beberapa orang pemuda merayapi salah satu jalan di Sala.
Para pemuda itu berseru, "Bantuan ... bantuan ... Kampung Madu (bukan nama sebenarnya) diserang ... ayo bantuan ...!"
Dalam sekejap berjubel-jubellah truk itu dengan orang-orang yang ingin memberikan bantuan kepada kampung yang dikenal simpatisan G30S dan ketika itu sedang dilanda kaum demonstran.
Di sebuah tanjakan di Jl. Sorogenen terjadi kejutan. Beberapa prajurit baret merah muncul.
"Angkat tangan semua!" perintah anggota RPKAD tersebut.
Dengan saling berpandangan terpaksalah mereka patuh digiring ke hotel perdeo. Mau nolong malah ketodong.
(Kompas, Jumat 3 Desember 1965)
Baca: 10 Makanan yang Wajib Dikonsumsi Pria Agar Spermanya Banyak, Gesit, dan Kuat
PISAUNYA TERHUNUS
Suatu malam di Ponorogo, pada pukul 20.00, 22 November 1965, seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun berjalan sendiri melewati jalanan yang gelap.
Mendadak ia merasa dibuntuti. Ketika menengok ke belakang dilihatnya dua orang wanita makin lama makin mendekat. Hatinya mulai ciut.
Maklumlah, di masa itu cerita-cerita mengenai kekejaman anggota Gerwani cukup bikin bulu kuduk berdiri.
Apalagi ketika ditengoknya lagi, nampak kedua wanita itu membawa pisau terhunus! Ia mempercepat jalannya sampai tersandung-sandung.
Entah bagaimana, rupanya tersusul juga pemuda ini oleh kedua ibu, sehingga akhirnya ia menyapa mereka,
“Ya Allah, Buu ..., sampai saya tersandung-sandung. Mau ke mana?"
"Mau rewang. Membantu memasak di rumah yang terang itu!"
"Saya kira .... Mari Bu, selamat malam!"
Salah seorang ibu kebetulan istri koresponden Kompas.
Baca: Kronologi Serangan 11 September 2001, Runtuhnya WTC hingga Keterlibatan Osama bin Laden
GARWANE?
Bu Sastrosularno sedang sendirian ketika pasukan tentara dari Batalyon G mengadakan gerakan pembersihan di daerah Nusukan - Prawit, Sala.
Mereka melihat setumpukan buletin di atas meja. Salah satu buletin bertuliskan "G.S."
Karena sedang menumpas G30S, tak heran mereka menaruh perhatian khusus dan menanyakan artinya.
"Anu, Pak ...," Bu Sastro gelagapan. "G artinya Gotong-Royong, S artinya ...," ia terhenti. Mulutnya cuma komat-kamit.
Para anggota Yon G kontan curiga.
"Sudah, terus terang saja."
Bu Sastro semakin gugup. Kepanjangan dari huruf "S" itu benar-benar hilang dari ingatannya.
Untunglah seorang anak angkatnya muncul dan segera menyela bahwa "S" adalah singkatan dari "subur".
Baca Juga : Seorang Ibu Trauma ketika Tahu Anaknya Dimutilasi Pedofil yang Merayunya dengan Permen
Mendengar jawaban si anak, petugas dengan wajah agak lega bertanya lagi, "Siapa pemilik buletin-buletin ini?"
"Suami saya, Pak Sastrosularno."
Mungkin sekadar untuk meyakinkan dirinya si petugas bertanya lagi, "Ibu Gerwani, ya?"
"Inggih (ya), Pak," sahut si ibu mantap!
"Apa? Jadi ibu adalah anggota Gerwani? Ayo, ikut ...!" bentak si petugas.
"Maaf, Pak. Saya bukan anggota Gerwani. Saya kira Bapak bertanya 'Garwane? (Istrinya?), maka saya iyakan. Saya bukan Gerwani. Saya garwane Pak Sastro yang menjadi pegawai Sekolah ‘Warga’ itu.”
(Kompas, Kamis 9 Desember 1965)