Pemerintah Review 900 Komoditas untuk Pembatasan Impor
Setelah sebelumnya menyatakan tengah mengkaji 500 komoditas yang terkena pembatasan impor melalui kenaikan tarif
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Setelah sebelumnya menyatakan tengah mengkaji 500 komoditas yang terkena pembatasan impor melalui kenaikan tarif PPh Pasal 22 impor, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kini menyebut ada 900 komoditas yang tengah dikaji. Namun pihaknya memastikan, pembatasan impor yang akan dilakukan hanya pada barang-barang konsumsi.
Sri Mulyani mengatakan, saat ini pihaknya bersama dengan Kementerian Perdagangan tengah melihat barang impor apa saja yang telah diproduksi di dalam negeri, terutama yang diproduksi oleh usaha kecil menengah (UKM) yang memiliki kapastias.
"Impor dari barang-barang yang sudah diproduksi oleh industri dalam negeri terutama para UKM kami kami akan melakukan langkah yang sangat tegas untuk mengendalikan barang konsumsi tersebut," kata Sri Mulyani saat konrferensi pers di Kantor Kemko Perekonomian, Jumat (24/8).
Selain itu, pihaknya bersama dengan Kementerian Perindustrian akan melihat kapasitas industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bila pembatasan impor dilakukan.
"Tools yang kami gunakan adalah PPh 22 impir yang dalam hal ini bisa terkena tarif saat ini bervariasi 2,5%-7,5%. Kami sedang lakukan policy bagaimana tingkat pengendalian yang baik," tambahnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara menambahkan, 900 komoditas tersebut merupakan komoditas barang konsumsi yang selama ini telah terkena tarif PPh Pasal 22 impor berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 132/2015 dan PMK 34/2017. Selama ini, komoditas tersebut telah terkena tarif 2,5%-10% sesuai kedua PMK itu.
Suahasil tak memperinci komoditas apa saja yang terkena kenaikan tarif PPh Pasal 22 impor nanti. Yang jelas, semuanya merupakan barang konsumsi yang tidak akan mengganggu industri.
Selain itu, tak hanya mengkaji komoditas apa saja yang telah diproduksi di dalam negeri, pemerintah juga menyandingkan data komoditas tersebut dengan data impor dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai. Apalagi, Ditjen Bea dan Cukai telah melakukan penertiban impor berisiko tinggi (PIBT).
"Setelah periode PIBT, tidak boleh borongan lagi. Sekarang kalau daftar barang impor itu lebih detail. Kalau borongan dulu tidak detail. Jadi benar-benar kami bisa pelototin per jenis barang, itu mau kita cocokkan semua," katanya.
Dengan pembatasan impor tersebut kata Suahasil, akan memberikan sinyal agar masyarakat mau menggunakan produk dalam negeri. Harapannya, inflasi bisa terkendali serta defisit neraca dagang dan defisit transaksi berjalan bisa ditekan, sehingga stabilitas nilai tukar rupiah akan terjaga.
AS minta WTO tunda sanksi US$ 350 juta untuk Indonesia
Amerika Serikat (AS) akhirnya menunda sanksi dagang sebesar US$ 350 juta atau setara Rp 5 triliun terhadap Indonesia. Hal itu dilakukan setelah Indonesia melobi AS.
"Dengan komunikasi yang kami buat, kemudian AS telah mengirimkan surat ke WTO untuk ditunda dulu," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Kantor Kemko Perekonomian, Jumat (24/8).
Sayangnya, Enggar tidak memberikan informasi lebih lanjut sampai kapan penundaan itu dilakukan. Ia juga tidak memastikan apakah penundaan itu bisa berbuntut pada pembatalan retaliasi alias balasan AS ke Indonesia.
"Sekarang, retaliasinya ya di-hold dulu lah," tambah dia. Setelah penundaan ini lanjut Enggar, pemerintah Indonesia akan kembali melakukan pembicaraan dengan AS setelah adanya pertemuan kedua negara.

Sebelumnya, AS tercatat telah mengajukan permohonan pada WTO untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar US$ 350 juta lantaran Indonesia dinilai tidak mengindahkan putusan WTO yang memenangkan AS dan Selandia Baru terhadap restriksi impor produk daging dan hortikultura di tingkat banding 2017 lalu.
Dalam tuntutannya, AS menuding pemerintah Indonesia tidak menjalankan putusan WTO tersebut. AS menuding, Indonesia masih saja membatasi impor makanan, tanaman dan produk hewan lainnya. Termasuk juga membatasi impor buah-buahan seperti apel, anggur, kentang, bawang, buah kering, sapi dan daging sapi serta ayam.
Maka sebagai kompensasi, Washington mendesak WTO menjatuhkan sanksi sebesar US$ 350 juta kepada Indonesia. Sanksi ini sebagai ganti rugi dampak buruk yang timbul akibat kebijakan Indonesia tersebut.
Eagle High dan Astra Agro optimis dengan kinerjanya di tahun ini
Bila dihitung sejak awal kuartal tiga sampai Kamis (23/8), indeks sektor perkebunan sudah menguat 10,98%. Penguatan ini ditopang oleh kenaikan harga saham emiten penghasil minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) mencetak kenaikan harga paling dahsyat, 30% lebih.
Berikutnya ada PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA).
Satriaji Budi Wibawa, Corporate Secretary BWPT ketika dihubungi KONTAN tidak banyak berkomentar soal prospek kinerja maupun saham perusahaannya.
"Kita berharap agar kinerja BWPT terus meningkat hingga akhir tahun. Untuk itu kita akan berusaha meningkatkan kinerja operasional, jumlah produksi dan kualitas produk kita dengan lewat perawatan yang baik," jelasnya, Jumat (24/8).
Satriaji bilang, target pendapatan dan laba bersih di tahun ini bergantung pada peningkatan kinerja operasional, penambahan kuantitas dan kualitas produksi CPO.
Vice President Communication AALI Tofan Mahdi juga tidak banyak berkomentar. Ia mengatakan, secara umum prospek industri kelapa sawit masih sangat positif.
"Kami optimis akan membukukan kinerja yang bagus di tahun ini. Tahun ini belum ada ekspansi, AALI masih fokus pada upaya peningkatan produktivitas CPO," jelasnya kepada KONTAN hari ini.
Sekadar info, pada semester I tahun ini BWPT membukukan penurunan pendapatan sebesar 3,58% menjadi Rp 1,40 triliun dari Rp 1,49 triliun pada periode serupa di tahun sebelumnya.
Beban pokok penjualan BWPT juga turun 33,5% menjadi Rp 784,73 miliar dari Rp 1,18 triliun pada periode yang sama di tahun lalu.
Alhasil, laba bersih BWPT pada semester I 2018 ini turun drastis 89,6% menjadi Rp 12,92 triliun dari Rp 124,57 triliun pada periode yang sama di tahun lalu.
Namun, jumlah aset BWPT pada enam bulan pertama tahun ini naik menjadi Rp 16,76 triliun dari Rp 16,18 triliun pada akhir tahun lalu.
Sementara itu, AALI membukukan pendapatan kenaikan pendapatan 5,56% menjadi Rp 9,02 triliun pada semester I 2018 dari periode yang sama di tahun sebelumnya Rp8,55 triliun.
Beban pokok pendapatan per Juni 2018 juga meningkat 13,7% menjadi Rp7,37 triliun dari sebelumnya Rp 6,48 triliun pada periode serupa di tahun lalu.
Besarnya beban pokok pendapatan turut menekan laba bersih. Laba bersih tercatat sebesar Rp 783,91 miliar atau terkoreksi 23,33% secara yoy dari periode Juni 2017 yang menyentuh Rp1,02 triliun.
Total aset perseroan pun meningkat 6,8% menuju Rp 26,83 triliun dari sebelumnya Rp 25,12 triliun. *