Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

RENUNGAN MINGGU : Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian

Paus Paulus VI mengkat tema: Komunikasi Sosial demi Pelayanan Kebenaran pada tahun 1972 untuk membendung penyebaran berita bohong

Penulis: | Editor:
Ist
Sri Paus Fransiskus 

Inilah strategi yang digunakan oleh “ular licik” dalam Kitab Kejadian, yang pada awal umat manusia,  menciptakan berita bohong yang pertama. (bdk. Kej 3:1-15).

Itulah awal sejarah tragis dosa manusia, dosa pembunuhan yang dilakukan kakak-beradik yang pertama (bdk. Kej 4) dan dari situ terus muncul kejahatan lain yang tak terhitung banyaknya, yang melawan Tuhan, sesama, masyarakat dan ciptaan.

Strategi dari “bapa segala dusta” yang cerdik ini (Yoh 8:44) meniru bentuk rayuan licik dan jahat yang merasuk ke dalam hati dengan argumen-argumen palsu dan memikat.

Dalam kisah tentang dosa pertama, si penggoda mendekati si perempuan, dengan berpura-pura menjadi seorang sahabat yang peduli pada kesejahteraannya.

Ia menyampaikan sesuatu yang hanya separuh benar: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej 3:1).

Padahal yang benar adalah Tuhan tidak pernah melarang Adam makan buah dari semua pohon, tetapi hanya buah dari satu pohon saja: “Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya” (Kej 2:17).

Perempuan itu membantah perkataan si ular, namun membiarkan dirinya terperangkap oleh hasutan si ular: “Tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati” (Kej 3:2).

Jawaban perempuan itu ditulis dengan istilah yang legalistik dan negatif; setelah mendengarkan si penggoda dan membiarkan dirinya terperdaya oleh fakta-fakta menurut versi si ular, perempuan itu pun terperdaya. Maka, ia menuruti apa yang dikatakan si penggoda dengan yakin: “Sekali-kali kamu tidak akan mati!” (Kej 3:4).

“Dekonstruksi” si penggoda kemudian tampil dalam bentuk kebenaran: “Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej3:5).

Perintah Allah sebagai Bapa, yang dimaksudkan untuk kebaikan mereka (manusia pertama), diputar-balikkan oleh bujuk rayu si musuh: “Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (Kej 3:6).

Episode alkitabiah ini mejelaskan suatu unsur hakiki dari refleksi kita, yaitu tidak ada informasi sesat yang tidak berbahaya; sebaliknya, mempercayai kepalsuan dapat mendatangkan akibat-akibat yang sangat buruk.

Bahkan suatu penyimpangan yang nampaknya kecil pun dapat menyebabkan akibat-akibat berbahaya.

Penyebab semua ini adalah keserakahan kita.  

Berita palsu sering kali menjadi viral, menyebar dengan sangat cepat sehingga sulit dihentikan, bukan karena dorongan untuk berbagi yang memang mengilhami media sosial, melainkan karena berita palsu itu merangsang keserakahan yang tak pernah terpuaskan, yang dapat muncul dengan begitu mudah dalam diri manusia.

Tujuan ekonomis dan manipulatif  yang memacu informasi sesat berakar pada kehausan akan kekuasaan, hasrat untuk memiliki dan menikmati, yang pada akhirnya menyebabkan korban penipuan yang lebih tragis, yakni  tipu-daya si jahat yang bergerak dari satu kepalsuan ke kepalsuan lainnya untuk mencabut kita dari  kebebasan batiniah kita. Itulah mengapa pendidikan tentang kebenaran berarti mengajar orang untuk melakukan disermen, mengevaluasi, dan memahami hasrat dan kecenderungan kita yang paling dalam, sebab jika tidak demikian maka kita akan kehilangan wawasan tentang apa yang baik dan menyerah pada setiap godaan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved