Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Selalu Jadi Kambing Hitam atas Kebodohan, Benarkah Micin Penyebabnya ?

Penyedap rasa atau micin atau juga monosodium L-glutamate (MSG) menjadi bagian penting dari pengolahan makanan di masyarakat.

Editor:
Net
Ilustrasi 

Pada 1909, Ikeda mendirikan merk dagang Ajinomoto (dalam bahasa Jepang berarti esensi rasa) untuk memproduksi temuannya.

Kala itu, bahan tambahan dalam masakan ini dibuat dengan memfermentasi protein nabati.

Sayangnya, micin tak langsung diterima pasar.

Ajinomoto sempat kesulitan menarik perhatian konsumen.

Bahkan, pada empat tahun pertama mereka tidak menghasilkan keuntungan.

Tahun 1931 adalah titik balik dari difusi MSG.

Tahun tersebut, Ajinomoto sangat digandrungi oleh masyarakat.

Apalagi, setelahnya, produk ini secara resmi digunakan di meja kaisar.

Kontroversi

Ketenaran micin bukan tanpa batu sandungan.

Bahan penyedap rasa ini sering dikaitkan dengan berbagai hal buruk, misalnya membuat bodoh atau sakit.

Hal ini mungkin bermula dari tulisan Robert Ho Man Kwok, seorang dokter keturunan China-Amerika di Maryland, AS.

Pada 1968, Kwok menulis sebuah esai ke New England Journal of Medicine tentang sindrom restoran China.

Dalam esai itu, Kwok menceritakan bagaimana dia mengalami mati rasa di bagian belakang leher yang menyebar hingga ke lengan dan punggung, lemas, dan berdebar-debar setiap kali makan di restoran China.

Ia sempat menduga bahwa penyebabnya adalah kecap dan anggur, tetapi kemudian pilihannya jatuh ada MSG yang digunakan sebagai bumbu pelengkap di restoran China.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved