Jenderal Soedirman, Panglima Besar yang Nekat Pimpin Perang saat Sakit Parah
Kisah Inspiratif dari Panglima Besar Jenderal Soedirman Nekat Pimpin Perang saat Sakit Parah
Dirman tak sabar menunggu Pardjo yang tak kunjung beri kabar. Ia lalu meminta dipapah menuju mobil dinas untuk menghadap langsung ke Presiden.
Pintu gerbang istana baru dibuka saat mobil dinas panglima memasuki komplek istana.
Presiden sedang mengadakan rapat darurat dengan para pembantunya. Soedirman gagal menemui Soekarno.
Padahal kondisi di luar semakin genting. Serangan pesawat tempur Belanda semakin ganas.
Dirman menyuruh Komandan Kompi I Kapten Cokropranolo alias Nolly pulang ke Bintaran untuk membakar seluruh dokumen di rumah dinas agar tak jatuh ke tangan Belanda. Keluarga Dirman diungsikan ke benteng keraton.
"Setelah itu pak Dirman kembali ke Bintaran dan buat keputusan," katanya.
Jenderal Soedirman akhirnya memutuskan menyingkir dari kota Yogyakarta dan memilih perang gerilya.
Dengan keterbatasan senjata yang dimiliki, gerilya adalah strategi perang yang cukup efektif.
Mereka bisa sembunyi di hutan sambil menunggu kesempatan untuk menyerang tiba-tiba ke musuh, lalu kembali lagi ke hutan untuk menyusun serangan berikutnya.
Dirman yang menumpang mobil sedan buatan Belanda keluar Yogyakarta dikawal puluhan pasukan. Jalur selatan melalui pantai selatan dipilihnya untuk mengawali perjalanan perang.
Rute gerilya disepakati dengan tujuan akhir gunung Wilis Kediri. Di sana, anak buah Soedirman telah menyiapkan markas lengkap dengan pemancar radio.
Melalui pemancar itu, panglima akan mengirimkan komando ke anak buahnya di seluruh tanah air.
Belum jauh melangkah, perjalanan mereka tersendat. Kendaraan mereka tak bisa menyeberang sungai besar dekat pantai Parangtritis. Tiada jembatan penyeberangan.
Mereka lantas meninggalkan kendaraan di tepi muara lalu menyeberang sungai dengan hati-hati.
"Pak Dirman sempat dicek kondisi kesehatannya oleh dokter pribadi. Saat itu kondisinya masih sama saat di Bintaran," katanya.