Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pierre Tendean di Mata Kakak dan Adiknya: Seandainya Pierre Masih Hidup

Seandainya Pierre Masih Hidup. Pokoknya, semua yang pernah menjadi milik Pierre akan kami simpan sebagai kenang-kenangan.

Editor: Aldi Ponge
Net
Pierre Andreas Tendean 

Tempat tinggal kami di Magelang juga hampir mirip dengan tempat tinggal kami di Cisarua. Di sini dilatarbelakangi G. Sumbing.

Kami bisa main sepuas-puasnya: naik perahu sampai berkubang di lumpur, piknik ke kebun kopi milik rumah sakit dan mandi-mandi di  pancuran.

Pierre senang sekali berenang di sungai, meskipun airnya kotor. Semakin dilarang, Pierre semakin tidak mau meninggalkan sungai itu.

Pierre yang waktu itu masih duduk di SD sudah memperlihatkan sifat tanggung jawabnya yang besar terhadap masyarakat di sekitarnya.

Jika sedang libur ia sering membantu kawan-kawannya ke sawah untuk mencari siput, guna menambah lauk-pauk di rumah orang tua mereka.

Berkelahi menggunakan pisau

Pierre mulai masuk sekolah rakyat di Boton, Magelang. Untuk pergi ke sekolah, kami menggunakan dokar rumah sakit (semacam mobil dinas sekarang).

Jika sedang dipakai untuk keperluan rumah sakit, terpaksa kami harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer.

Suatu ketika sisa-sisa gerombolan PKI yang terlibat dalam Peristiwa Madiun (1948), merampok keluarga kami dan membawa ayah. Ketika melihat kesempatan untuk melarikan diri, ayah menceburkan diri ke  Kali Manggis.
Karena malam sangat gelap akhirnya kaki ayah tertembak dan cacat seumur hidup. Kami sekeluarga terpaksa pindah ke Semarang, karena ayah harus dirawat di RS CBZ (sekarang RS dr. Karyadi), sehubungan kakinya yang tertembak sampai tulangnya pecah.

Dalam mendidik anak-anaknya ayah agak keras. Kami kenyang merasakan sapu lidi, ikat pinggang, maupun sandal.

Masa SMP dan SMA dilewati Pierre di Semarang. Dalam bersekolah Pierre lancar-lancar saja dan tidak pernah tinggal kelas. Ia juga memperoleh nilai yang baik dalam bahasa Inggris dan Jerman.

Hal itu mungkin karena kami selalu berbahasa Belanda di rumah. Ketika masuk SMP dia memperoleh hadiah sepeda dan waktu masuk SMA ia memperoleh sebuah sepeda motor Ducati dari ayah. Ia sangat bangga pada Ducati itu.

Sekitar tahun 1957, sebagai anak muda adik saya itu juga pernah terlibat perkelahian antar sekolah dengan menggunakan pisau, sampai ada bekas luka di tangannya.

Namun, dalam bergaul Pierre bisa menerima dan diterima di segala macam kalangan. Dari anak-anak  para karyawan rumah sakit dan mantri, sampai tukang becak pun jadi.

Robert Wagner dari Panorama

Halaman
1234
Sumber: Bangka Pos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved