Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Eksklusif

Nelayan Itu Miskin? Eiits, Nelayan di Bitung Sulut Kini Mampu Beli Mobil Lho

Pendapatannya kini berkisar Rp 1 juta perhari. Jika dihitung, seminggu pendapatannya melaut lebih besar dari gaji ASN eselon 2.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Fransiska_Noel
FOTOGRAFER TRIBUN MANADO/ANDREAS RUAUW
Cuaca buruk dan gelombang tinggi, nelayan pesisir Teluk Manado pilih parkir perahu. 

Laporan Tim Jurnalis Tribun Manado

TRIBUNMANADO.CO.ID, BITUNG - Belasan tahun menjalani profesi nelayan, baru kali ini Nasir, nelayan di Kelurahan Batu Putih, Kecamatan Ranowulu, Bitung merasakan nikmatnya hasil tangkapan ikan yang diapresiasi dengan harga baik di pasaran.

Pendapatannya kini berkisar Rp 1 juta perhari. Jika dihitung, seminggu pendapatannya melaut lebih besar dari gaji ASN eselon 2.

"Potong uang operasional, untung bersih saya sekitar 800 ribu per hari," kata dia.

Kehidupan ekonominya meningkat pesat. Ia bisa mengembangkan usaha nelayannya, menciptakan usaha sampingan serta hal yang tidak pernah terpikir olehnya yakni menabung untuk biaya sekolah anaknya.

Sembari itu, dia bisa melawan stigma yang melekat bahwa nelayan identik dengan kemiskinan. "Kini saya bangga jadi nelayan," kata dia.

Nasib Nasir dan para nelayan kecil di Kota Bitung berubah 180 derajat begitu Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti mengeluarkan kebijakan pelarangan transhipment serta penangkapan ikan oleh kapal eks asing beberapa waktu lalu.

Kebijakan itu membuat kapal-kapal asing tidak bisa lagi memasang ponton -ponton di lautan untuk memerangkap ikan.

Hingga ikan -ikan pun bisa mencapai pesisir pantai dan para nelayan kecil bisa menangkapnya meski dengan perahu kecil serta peralatan seadanya.

Muksin Jurumudi, Ketua Kelompok Nelayan Ambar Laut Girian Bawah Bitung membeber, tahun 2016, terutama di tiga bulan pertama, merupakan tahun penuh berkat bagi nelayan kecil di wilayahnya.

Banyak yang menjadi kaya mendadak."Ada yang beli mobil, motor serta rumah," kata dia. Dikatakan Muksin, sejumlah nelayan kecil berhasil mewujudkan mimpi memiliki perahu sendiri.Bahkan ada yang bisa membeli hingga 3 perahu sekaligus."Saya salah satunya bisa juga beli perahu lampu," kata dia.

Saking banyaknya uang di dompet nelayan, sehari bisa sejuta, membuat para nelayan agak boros. Sebut dia, satu saja tali soma putus maka langsung diganti."Padahal soma itu mahal harganya," ujar dia.

Haryanto, nelayan kecil lainnya mengaku kini menikmati masa indah sebagai nelayan setelah sebelumnya hidup susah sebagai ABK kapal asing.

Dikatakan Haryanto, selama jadi ABK, ia bekerja sangat keras, namun hanya digaji UMP.

"Setelah jadi nelayan, pendapatan saya dua kali lipat, bekerja santai serta yang utama bisa ketemu istri dan anak, dulunya ketemu enam bulan sekali," ujar dia.

Maskur Makagansa, nelayan di kapal pajeko mengaku bisa membangun rumah dari hasil menangkap ikan.

Rumah tersebut pun sudah terisi dengan berbagai perabotan.

"Lumayanlah sudah bisa membahagiakan keluarga," kata dia.

Sebelum keluar kebijakan Susi, beber dia, nelayan Bitung harus mencari ikan hingga ke tempat jauh.

Wilayah sekitar Bitung sudah dipagari dengan ponton yang dipasang oleh kapal asing hingga ikan hanya bergerak di area sekitar ponton itu.

"Mencari ikan sangat sulit, harus pergi ke tempat jauh, untung sangat sedikit karena besarnya biaya operasi, pernah sebulan melaut hanya dapat Rp 200 ribu, bisa dibilang kami hanya mendapat ikan yang lolos dari ponton itu," kata dia.

Kini, beber dia, ponton sudah dicabut. Ikan pun leluasa bergerak hingga ke pesisir."Bayangkan saja dapat ikan tude di pinggir laut," kata dia.

Nelayan Resah

Memasuki tahun 2017 ini, para nelayan Bitung mulai resah. Pasalnya ponton-ponton mulai bermunculan kembali.

"Ponton-ponton itu mulai ada lagi," kata Muksin Jurumudi, Ketua Kelompok Nelayan Ambar Laut Girian Bawah.

Adanya ponton-ponton itu, ungkap dia, mulai berpengaruh pada tangkapan nelayan. Ikan tidak lagi sebanyak tahun sebelumnya.

"Sudah ada pengaruhnya bagi kami meski belum signifikan," ujar dia.

Muksin menduga ponton-ponton itu dipasang pihak perusahaan serta kapal-kapal asing dengan ABK dari Indonesia. Setahu Muksin, moratorium belum dicabut.

"Saya minta penjelasan pada instansi terkait mengapa hal ini terjadi, kami belum tahu kalau ada aturan baru," kata dia.

Yaskur nelayan dari Likupang juga mendapati ponton-ponton di wilayahnya. Ia menduga ponton -ponton itu dipasang pajeko dari Manado.

"Jika ponton kembali dipasang maka itu alamat buruk bagi nelayan," kata dia.

Untungkan Nelayan

Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menguntungkan nelayan kecil, termasuk yang di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Hal ini diutarakan Ardi Pakai (41), nelayan asal Desa Sondana, yang diwawancarai saat sedang menjahit jaring (pukat).

"Kalau dulu ikan banyak tapi tidak berharga,"kata Ardi, Rabu (22/2) ditepi Pantai Sondana.

Nelayan yang sehari-hari bekerja sebagai penangkap ikan teri ini mengaku penghasilannya sesuai tangkapan ikan yang diperolehnya. Jika lagi musim maka mereka bisa mendapatkan uang sampai puluhan juta rupiah.

"Satu kali tangkap biasanya 16 box. Satu box ukuran 2 x 1 meter dihargai Rp 2 sampai 3 juta,"kata Ardi meyakinkan.

Ardi menuturkan aturan Menteri Susi tidak menyulitkan mereka, justru sangat berpihak kepada nelayan.

Apalagi setelah 20 tahun melaut, baru dua tahun ini merasakan dampak baik pertumbuhan ekonomi keluarga.

"Kalau dulu ada kapal ikan dari Korea, biasanya hasil tangkapan dijual murah kepada mereka. Tapi saat ini tidak lagi,"ujar Ardi.

Serupa diungkapkan oleh pengusaha dan pemilik kapal ikan (Pajeko), Unu Gonibala (40).

Unu membeberkan dulu ikan dihargai murah. Jika hasil tangkapan terlalu banyak sebagian besar dibuang atau dijadikan makanan ternak.

Hal ini terjadi, karena tangkapan banyak, sehingga harga ikan turun. Apalagi hasilnya hanya dihargai pembeli dengan harga murah.

"Kesulitannya paling terasa pada tahun 80-an sampai 2002 silam,"kata Unu menceritakan.

Pria asal Sondana ini mengatakan, jika lagi musim ikan, sehari hasil jualan sampai 100 jutaan. Sebab satu bak mobil dihargai Rp 25 juta."Biasanya sampai tujuh bak mobil,"kata Unu meyakinkan.

Kata dia biasanya konsumen datang dari daerah Gorontalo, Kota Kotamobagu dan Kota Manado. Sebagian besar pelanggan tetap, yang datang tiga hari sekali atau sebulan sekali.

Sedangkan sistem pembagian hasil atau pengajian bagi Anak Buah Kapal (ABK), dilakukan sebulan sekali. Uang haasil penjualan dikumpul dipotong dan disalurkan.

Pemotongan ini meliputi uang minyak, es batu sebagai alat pengawet, makan, obat, perbaikan fisik kapal, dan sebagaianya.

"Kalau hasilnya Rp 10 juta dipotong sepuluh persen. Kemudian dilakukan sistem bagi tiga. Untuk ABK, penjaga rumpon, dan pengemudi kapal, sama rata Rp 3 juta,"kata Unu menjelaskan.

Pria yang telah sukses membeli dua buah rumah, kebun cengkih, dan kapling rumah mengaku ada saat ini beralih ke kebun.

"Kalau tidak ada ikan saya dan 20 orang ABK berkebun,"kata pengusaha yang sebelumnya adalah nelayan biasa.

Seperti yang dikatakan oleh Awan Musa (42) pengumpul ikan (tibo-tibo) asal Bolsel. Kata dia banyak nelayan yang sukses menjadi pengusaha ikan.

Modalnya hanya berupa perahu sedang (pelang), pukat, mesin ketinting, dan pengetahuan tentang laut.

"Dulu beliau (Unu Gonibala) membawa ikan pakai tas plastik, tapi sekarang sudah bisa membeli kapal,"kata Musa memuji.

Menurut dia saat ini mereka telah memiliki harga standar pemasaran ikan. Seperti ikan jenis malalugis, satu kas Rp 2 juta.

Kemudian dasar harga tersebut telah digunakan oleh seluruh nelayan se -Bolsel, yang hasilnya tergantung pada jumlah ikan dan cuaca.

"Setahun nelayan biasa yang menggunakan perahu bermesin tempel meraup uang sebanyak Rp 100 sampai Rp 150 juta," ujar Musa.(art/lix)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved