Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu: Wajah Janus Kebudayaan?

Laman manado.tribunnews.com Rabu, 24 September 2014, memuat berita tentang antusiasme masyarakat yang peduli seni budaya dalam Festival Maengket.

Editor: Fransiska_Noel

Ambrosius Markus Loho
* Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta
* Tim Filsafat Unika De La Salle Manado

TRIBUNMANADO.CO.ID - Laman manado.tribunnews.com Rabu, 24 September 2014, memuat berita tentang antusiasme masyarakat yang peduli seni budaya dalam Festival Maengket, dalam rangka ulang tahun ke-50 Provinsi Sulawesi Utara. Kegiatan ini bertujuan menjaga kebudayaan daerah untuk tetap dikenal. Sejalan dengan Festival Maengket, Kota Tomohon juga menggelar kegiatan pengembangan seni musik tradisional kolintang yang diselenggarakan pada 18 September 2014, di kompleks pameran GOR Arie Lasut Manado.

Pada saat yang sama, ada fakta ambivalen di tengah antusiasme masyarakat peduli budaya tersebut. Pemberitaan kompas.com Selasa, 22 September 2014, melaporkan tentang keadaan kota Manado yang mulai semerawut, penuh sampah, macet, dan tindak kriminal yang mulai mendominasi. Laman manado.tribunnews.com selama beberapa hari terakhir juga memberitakan tentang pelbagai tawuran, pembunuhan, dan tindakan kriminal lainnya. Fakta kriminalitas tersebut mengganggu keharmonisan di tengah masyarakat Nyiur Melambai.

Dua panggung fakta ini sangat oposisional, berseberangan. Panggung pertama menunjukkan bahwa kebudayaan mengandung sisi positif dan kreatif dalam masyarakat. Dalam jantung kebudayaan terdapat nilai-nilai etis seperti kreativitas, kesederhanaan, ketulusan, dan gotong royong yang penting bagi kesejahteraan masyarakat. Panggung kedua yang kontradiktif yakni dalam kebudayaan yang sama, ada nilai-nilai negatif yang lahir dan berkubang di dalamnya. Hal ini memproklamasikan wajah janus (baca: wajah ganda) kebudayaan kita, yakni dalam kebudayaan yang sama terdapat aspek positif-negatif, atau aspek konstruktif-destruktif.

Mengapa demikian? Berbicara tentang kebudayaan bagaimanapun juga tidak lepas dari hakikat manusia sebagai makhluk pencari makna yang tiada akhir. Manusia juga terus-menerus mengacu hidupnya pada apa yang dipandang berharga sebagai baik, benar dan indah dalam menghayati dan menapaki kehidupannya. Dalam dirinya terdapat kemampuan untuk memahami secara akal budi mengenai kenyataan dan memaknainya untuk mengetahuinya secara kognitif. Ia mempunyai potensi diri, mempunyai rasa untuk mengagumi dan mengembangkan keindahan.

Pemikiran ini memandang kebudayaan sebagai kemampuan-kemampuan dalam diri perorangan yang bisa saja terurai dalam tarian dan musik. Dengan kata lain kebudayaan dalam diri orang perorangan dikatakan pula sebagai kemampuan 'cipta' dalam budi, 'rasa' dalam kedalaman hati dan nurani serta 'karsa' dalam kehendaknya (Sutrisno, Membaca Rupa Wajah Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2014., p. 207).

Jadi dalam dan melalui budaya, manusia coba mencari dan membuktikan eksistensi dirinya. Manusia punya kemampuan cipta, rasa dan karsa yang secara rasional terbentuk oleh adanya akal budi, mencoba semua hal dalam hidup yang kemungkinan bisa diterima secara etis dan rasional dalam masyarakat. Dalam kerangka di atas kemampuan manusia yang adalah pelaku kebudayaan, nampak dalam pentas seni panggung/pertunjukan (maengket dan kolintang). Ini menunjukkan potret positif dari kebudayaan.  

Dari sisi lain, keberadaan sekelompok orang yang mengalami krisis kebudayaan juga dimungkinkan karena orang lain (korban/yang dikorbankan) dipandang sebagai bukan manusia atau dipandang sebagai yang lain (other), yang bukan manusia atau lebih rendah dari manusia. (Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta: KPG, 2012., p. 3). Pandangan ini mengetengahkan fakta bahwa krisis kebudayaan yang dimaksudkan di atas, disebabkan karena orang lain tidak dianggap sebagai yang lain/the other. Bahwa cara pandang kita terhadap yang lain sangat menentukan perlakuan kita terhadap mereka yang kita anggap saingan, musuh, dan sebaliknya kita akan memperlakukan mereka dengan baik bagi mereka yang kita anggap baik menurut kriteria kita.

Dari gambaran di atas menurut hemat saya, wajah janus kebudayaan harus diatasi. Sebagai pelaku kebudayaan, kita harus mengembalikan wajah positif kebudayaan Nyiur Melambai yang sejak dahulu kala menjadi primadona. Hal pertama yang harus dilakukan adalah merestorasi jalan kebudayaan. Mengapa? Karena kebudayaan memiliki kemampuan untuk merawat, merayakan dan memperbaiki sistem-sistem nilai yang menyimpang. (Sutrisno, p. 208).

Di sini, pendekatan kebudayaan akan melihat realitas masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari sudut pandang mentalitas manusianya. Dalam kebudayaan itu harus ditumbuhkan toleransi dan kepedulian pada keragaman, penyadaran secara pengetahuan kognitif serta menyadari fakta bahwa butuh jalan panjang menghayati proses keteladanan dan kerendahan hati untuk mau saling belajar dan saling berbagi satu sama lain.

Hal kedua yang harus ditanamkan sebagai dasar, agar krisis kebudayaan ini bisa diatasi adalah fakta bahwa pribadi seorang manusia yang hidup dalam pluralitas tidak bisa diandaikan begitu saja. Bahwa subjek yang hidup dalam budaya tertentu pastilah hidup bersama orang lain, Filsuf Jerman Emmanuel Levinas mengatakan the other. Ia mengatakan bahwa subjek/the I, yang membuka dirinya bagi yang lain/the other, berarti memberikan diri pada yang lain (Hidya Tjaya, p. 118). Subjek keluar dari diri dan menyerahkan diri kepada yang lain/the other itu, mengandung arti bahwa subjek harus senantiasa bertanggung jawab terhadap yang lain.

Dalam tataran praksis, kita mesti mengubah wajah janus kebudayaan di bumi Nyiur Melambai dengan memanfaatkan potensi-potensi positifnya. Sebagai misal, segenap elemen masyarakat mesti menggunakan festival musik daerah atau kegiatan-kegiatan pameran kearifan lokal untuk menanamkan nilai-nilai positif ke tangan generasi penerus. Nilai-nilai positif dalam kebudayaan kita dijadikan sebagai pemberantas nilai-nilai negatif dalam kebudayaan.

Dalam tatatan ini, kebudayaan dapat menjadi "wadah pertemuan pelbagai wajah" yang selalu berjuang bagi kebaikan sesama dan kesejahteraan masyarakat. Karenanya, pelbagai pementasan budaya, seni, pameran kuliner dan kearifan lokal mesti menanamkan fungsi edukatif, bukan berhenti pada acara selebrasi semata. Mari kita ciptakan nilai-nilai yang positif dalam kebudayaan kita.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Bahasa Sebagai Guru Umat Manusia

 

Tajuk Tamu: Wajah Janus Kebudayaan?

 

Eufemisme dalam Bingkai Kekuasaan

 

Tajuk Tamu : Fungsi Bahasa

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved