Tajuk Tamu : Panah Wayer dan Budaya Masyarakat Manado
Panah wayer adalah sebuah istilah baru yang mulai dikenal sekitar tahun 2000-an.
Panah Wayer dan Budaya Masyarakat Manado
Soleman Montori
* Pemerhati Sosial dan Budaya
TRIBUNMANADO.CO.ID - Panah wayer adalah sebuah istilah baru yang mulai dikenal sekitar tahun 2000-an. Pertama kali dikenal di daerah konflik. Kemudian menyebar dan dikenal oleh daerah lain, termasuk menyebar ke masyarakat Kota Manado. Entah siapa pertama kali memperkenalkannya, tidak diketahui dengan pasti. Tapi, yang pasti panah wayer bukan budaya warisan leluhur masyarakat Manado.
Manado adalah kota untuk semua; kota multidimensi yang beragam tradisi dan budaya. Siapapun yang hidup di dalamnya harus memahami dan menghormati tradisi dan budaya "Torang samua basudara". Baku-baku sayang, baku-baku bae, dan baku-baku kase inga jika ada hal yang tidak baik apalagi jika ada hal yang membawa kebaikan.
Sejak dahulu Manado dikenal masyarakat luar sebagai kota yang "terakrab dan terseksi", namun akhir-akhir ini terdapat sejumlah orang dan kelompok masyarakat yang tak memahami arti torang samua basudara berupaya menggantikannya dengan cara memopulerkan panah wayer.
Wali Kota Manado GS Vicky Lumentut dan Wakil Wali Kota Harley AB Mangindaan, kedua pemimpin yang low profile ini dalam berbagai kesempatan menggaungkan semangat "Torang samua basudara" sebagai perekat sosial untuk mempersatukan masyarakat Manado yang beragam suku, agama, ras dan budaya.
Budaya dari berbagai anak suku bangsa di kota ini oleh kedua pemimpin prorakyat ini terus didorong untuk bertumbuh kembang, dipelihara dan dilestarikan, kecuali panah wayer. Kedua pemimpin pilihan rakyat ini dan seluruh elemen masyarakat kota Manado menutup ruang penyebarluasan dan penggunaan panah wayer, karena bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai budaya torang samua basudara.
Budaya masyarakat Manado (torang samua basudara) harus mampu hidup dan memengaruhi budaya dari luar. Bukan sebaliknya, tergilas, hanyut dan dikalahkan oleh panah wayer yang merupakan budaya dari luar.
Panah wayer bukan karya seni yang bernilai tinggi, tetapi merupakan hasil kreasi destruktif orang-orang yang menganggap kebaikan sebagai duri. Para pelaku adalah orang-orang yang anti kemapaman dan anti kesetiakawanan sosial; mereka adalah orang-orang yang menolak hidup rukun dan damai.
Pikiran dan hati para pelaku panah wayer penuh prasangka dan kebencian terhadap hal yang baik. Di antara mereka ada yang kesepian, ada yang menjerit di dalam dirinya, dan yang lainnya minta dimengerti. Tapi anehnya mereka senang melakoninya, meskipun apa yang mereka lakukan membahayakan, meracuni pikiran dan menghilangkan akal sehat.
Tindakan destruktif yang dilakukan para pelaku panah wayer karena mereka gagal dan tak mampu berpikir positif dan tak dapat membuka pandangan secara jernih. Di dalam diri mereka terjadi konflik batin antara perasaan, pikiran dan tindakan.
Jika dicermati, tampaknya panah wayer hanya merupakan tujuan sekunder, tujuan utama para pelaku agar tindakan destruktif yang mereka lakukan diakui dan mendapat perhatian. Para pelaku adalah orang-orang yang gagal memelihara, menghidupkan dan membagikan kebaikan. Mereka bukan sahabat kebaikan.
Siapa yang salah? Orang tua, sekolah, lingkungan? Semuanya memiliki andil, tapi yang patut disalahkan adalah diri sendiri.
Panah wayer bukan budaya dan model masyarakat kota Manado yang mencintai hidup rukun dan dan damai. Orang atau kelompok yang melindungi dan mempersenjatai diri dengan panah wayer, adalah orang yang anti hidup rukun dan damai.
Semua elemen masyarakat memiliki tanggung jawab untuk membangun dan menjadikan Manado sebagai contoh bagi banyak orang yang datang dari luar untuk belajar hal yang baik dan menyenangkan, belajar hidup rukun dan damai, bukan belajar tentang panah wayer.
Panah wayer merupakan penyakit sosial, yang harus kita respon dengan hidup baru, yaitu mengintrospeksi dan mengoreksi diri, sehingga menjadi pribadi baru yang membawa terang dan damai.