DPRD
Reses, Kotambunan Tombok Hingga Rp 15 Juta
Reses tahap lalu saya tombok uang Rp 15 juta, kalau reses saat ini saya tombok Rp 8, 5 juta.
Penulis: | Editor:
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Reses atau penjaringan aspirasi oleh anggota DPRD pada masyarakat sesuai daerah pemilihannya sering dinilai keliru. Masyarakat sering menilai hal tersebut sebagai kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari legislator yang dipilihnya. Hal tersebut yang dirasakan anggota dewan saat melakukan reses, seperti yang diutarakan oleh Arthur Kotambunan, Wakil Ketua DPRD Sulut kepada Tribun Manado, Rabu (15/8/2012) lalu.
"Reses tahap lalu saya tombok uang Rp 15 juta, kalau reses saat ini saya tombok Rp 8, 5 juta," ujarnya. Meski demikian ia iklas memberikan bantuan tersebut karena memang dibutuhkan oleh masyarakat, biasanya bantuan diberikan untuk membangun atau membiayai sesuatu yang bermanfaat bagi publik, seperti lapangan olah raga atau menambah biaya renovasi untuk gedung pertemuan misalnya.
Kotambunan menilai apa yang dipikirkan masyarakat bahwa legislator seperti sinterklas merupakan hal yang wajar mengingat saat aspirasi ternyata ditemukan masih banyak warga miskin. Ia mencontohkan ketika reses di Kelurahan Pandu, Lurah Pandu mengatakan padanya, masih banyak warga miskin. "Dari 900 KK ada 350 KK yang hidup di bawah garis kemiskinan, kriterianya mereka memiliki penghasilan di bawah Rp 10 ribu per hari," jelasnya.
Fakta ini menunjukkan perlunya pengentasan kemiskinan satu di antaranya dengan memberdayakan koperasi. Koperasi yang telah ada saat ini menurut Kotambunan justru 'mencekik leher' karena saat masyarakat di pagi hari meminjam uang Rp 100 ribu, warga hanya menerima Rp 90 ribu padahal sorenya harus mengembalikan utuh Rp 100 ribu. "Ini justru melebihi renternir, koperasi kok bunganya 10 persen sehari, sebulan sudah 300 persen," jelas dia. Aspirasi ini yang akan ia bawa nanti ke Pemerintah Provinsi Sulut agar dilakukan pemberdayaan terhadap koperasi tersebut.
Soal kemisikinan Kotambunan mengaku juga menjumpai di beberapa wilayah seperti Tongkaina dan Molas, di lokasi-lokasi ini menurutnya perlu dilakukan program pengentasan kemiskinan. Selain kemiskinan juga infrastruktur yang tak memadai, jalan perkebunan dari Tongkaina ke Tiwoho, Minahasa Utara 70 persen jalan rusak parah, padahal jalan ini merupakan akses masyarakat untuk melakukan aktivitas perekonomian mulai dari pertanian hingga perdagangan. Ini merupakan jalan provinsi karena menghubungkan dua wilayah antara Manado dan Minahasa Utara.
Terkait biaya reses, Kotambunan menjelaskan tiap anggota dewan mendapatkan Rp 30 juta dipotong pajak menjadi Rp 26 juta. Uang ini dikelola oleh staf DPRD Sulut untuk membiayai sewa gedung, transportasi dan konsumsi. "Total sekitar Rp1,2 miliar dengan 45 anggota dewan. Akbar Datunsolang juga termasuk namun sepertinya yang bersangkutan tak mengambil karena masih proses hukum terkait kasusnya," kata dia.
Uang sebanyak Rp 26 juta untuk biaya reses minimal di tiga tempat. "Saya kebetulan lima tempat antara lain Tongkaina, Pandu, Ranomuut, Lapas Tuminting dan Kampung Islam. Kalau di lapas mereka minta tambahan pendidikan atau ketrampilan misalnya bahasa Inggris supaya menjadi bekal setelah keluar dari lapas," jelasnya.
Apa yang dirasakan Kotambunan juga dirasakan oleh anggota dewan lainnya. Victor Mailangkay anggota Komisi II sekaligus Ketua Badan Legislasi secara terpisah juga mengatakan, kedatangan legislator dianggap sinterklas atau membagi-bagikan bantuan. "Apalagi di berita yang mengatakan legislator dibekali Rp 30 juta, wah masyarakat menganggap uang itu untuk dibagi-bagikan, padahal itu uang makan dan untuk sewa tenda dan dikelola oleh sekretariat," katanya.
Selepas berita tersebut banyak masyarakat yang datang dan minta bantuan, mengira uang itu dibagikan. "Saya harus menjelaskan yang benar adalah saya turun untuk menggali aspirasi selama 5 hari hanya mendapat Rp 108 ribu, itu upah yang saya terima," katanya. Mailangkay menilai hal ini yang perlu diluruskan, reses itu bukanlah membagi-bagi uang namun menyerap aspirasi dan melaporkan apa yang dilakukan sebagai fungsi pengawasan anggaran. "Rakyat jadi tahu, mendapat informasi dan bisa menjadi kontrol sosial," jelas dia.