EDITORIAL
Lumentut dan PNS
WALI Kota Manado, Vicky Lumentut terus menabuh genderang perang terhadap perilaku indisipliner
Editor:
Andrew_Pattymahu
WALI Kota Manado, Vicky Lumentut terus menabuh genderang perang terhadap perilaku indisipliner dan tabiat kabal seperti mangkir atau terlambat masuk kerja, di Pemko Manado. Setiap memimpin apel kerja di awal pekan, dia selalu mengingatkan jajarannya agar berdisiplin sesuai tuntutan profesionalisme birokrasi.
Tak lupa, dia juga berjanji tak segan menghukum setiap pelanggaran dengan sanksi memotong tunjangan tambahan penghasilan (TTP) bagi PNS kabal. Sejatinya tidak ada yang baru, apalagi istimewa dari ancaman Lumentut. Dia hanya mengulang dan menegaskan kewajiban PNS sesuai dengan PP N0. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Sebagai pembina kepegawaiaan sebagaimana diatur PP, yang terbit di masa Menteri EE Mangindaan, Lumentut memang bertugas membina kedisiplinan jajarannya, termasuk mengambil tindakan tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Pendek kata, Lumentut hanya menjalankan tugas yang melekat sesuai kewenangannya.
Namun demikian, kita tetap harus apresiasi langkah Lumentut itu. Pasalnya, birokrasi yang tidak tertib, dan indisipliner, apalagi cenderung seenak perutnya sendiri, bukan hanya menghambat pelayanan publik. Akan tetapi juga mengusik rasa keadilan. Birokrasi, termasuk PNS di dalamnya selama ini mendapat keistimewaan atas nama reformasi birokrasi berupa tunjangan kinerja.
Kendati pada kenyataannya, praktik pelayanan publik di lapangan justru jauh panggang dari api. Jangankan profesional, sekadar memenuhi kewajiban normatif tepat waktu masuk kerja saja masih banyak yang gagal, kalau disebut tidak bisa. Kalau dibiarkan, praktik ini akan menjadi kebiasaan dan dalam jangka panjang akan menjelma menjadi budaya.
Nah, langkah pembinaan akan menjadi tak mudah kalau itu berulang dengan dalih sudah budaya. Upaya pendisiplinan akan menjadi persoalan sendiri ketika yang dihadapi sudah mengurat akar sebagai budaya. Pasalnya, budaya unsurnya tak hanya kebiasaan namun juga persepsi, dan soko guru penggeraknya pola pikir.
Dengan kata lain, tindakan pendisiplinan tanpa dibarengi perubahan pola pikir seperti menabrak tembok tinggi. Namun kita yakin kondisi seperti itu belum terjadi di Manado, dan Sulut pada umumnya. Kita masih percaya akal sehat dan rasionalitas birokrasi masih menjadi nafas keseharian perilaku birokrasi di sini.
Persoalannya, tinggal kesungguhan dan keteladanan birokrasi, khususnya mereka yang berdasarkan jenjang struktural punya kewenangan mengambil keputusan, meniscayakan semua kondisi itu. Maju terus sesuai aturan dengan kepemimpinan yang tegas dan rasional, atau hanya sekadar menggugurkan kewajiban seperti diperintahkan PP.
Jika pilihannya yang pertama, warga Manado pantas bergembira dan harus menyimpan dalam-dalam setiap keluhan soal berbelitnya birokrasi dan pelayanan publik. Karena hadirnya birokrasi kompeten dan pelayanan publik yang prima, minimal dalam semangat kerja.
Namun sebaliknya, jika pilihan justru yang kedua, maka sekeras dan setegas apapun seruannya, tetap akan dianggap teriakan di tengah padang pasir. Nyaring tapi tak bergaung. Sebagai warga yang percaya Tuhan, kita tetap harus optimis dan menaruh harapan besar terhadap setiap keinginan berbenah menuju kondisi yang lebih baik. Selebihnya, pilihan ada di tangan Lumentut! (*)
Rekomendasi untuk Anda