Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Ridwan Ali Guru di Bolsel Pernah Digaji Rp 16.950

Tidak mudah menjadi seorang tenaga pendidik (guru) di zaman dahulu, selain minim infrastruktur harus siap menghadapi segala rintangan

Penulis: | Editor: Andrew_Pattymahu
FELIX TENDEKEN
Ridwan Ali 

Liputan Wartawan Tribun Manado, Felix Tendeken

TRIBUNMANADO.CO.ID, MOLIBAGU - Tidak mudah menjadi seorang tenaga pendidik (guru) di zaman dahulu, selain minim infrastruktur harus siap menghadapi segala rintangan yang ada, dengan niat ingin mencerdaskan anak bangsa.

Itulah yang dilakukan oleh Ridwan Ali (62) pensiunan guru yang belasan tahun mengabdikan diri untuk dunia pendidikan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Senin (15/2).

Dia yang telah menjadi guru kelas selama kurang lebih 25 tahun menceritakan, pada tahun 1979 menjadi guru dengan gaji Rp 16.950.

Kemudian harus menerima ketika dirinya dipindahkan ke pelosok - pelosok desa di wilayah pesisir pantai Bolsel yang kala itu masih tergabung dengan Bolaang Mongondow.

"Kendaraan dulu berupa Jeep hanya sampai ke Doloduo, lalu harus dilanjutkan dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter," ujarnya.

Untuk sampai ke Desa Molibagu ia harus menyeberangi sungai Doloduo, Ikhwan, dan Uuan, kemudian melanjutkan dengan melintasi gunung tapakulintang.

Perjalanan penuh risiko ini dilakukannya dengan ikhlas, berkeinginan agar generasi penerus di pelosok desa dapat mengeyam nikmatnya dunia pendidikan yang kala itu sulit didapatkan.

"Sesuatu yang biasa jika menyebrang hutan dan bertemu dengan babi hutan, atau monyet liar," ujarnya.

Bermodal sebatang kayu sebagai tongkat untuk menahan beban tubuh saat menuruni bukit, juga sebagai alat tradisional untuk mengusir ular dan beberapa hewan berbahaya lainnya yang menghalangi jalan.

"Dikejar monyet karena membawa pisang itu biasa terjadi. Makanya pada masa itu sangat dilarang membawa pisang saat menyeberangi gunung tersebut," ujarnya.

Kerap dirinya harus menaiki cabang pohon untuk menghindari serangan babi hutan ataupun sebagai alat pijak untuk mendaki sebuah tebing curam.

Apalagi jalan tersebut tidak seindah seperti saat ini, sebab beralaskan bebetuan daun dan rating pepohonan yang mulai membusuk.

Kelabang seukuran dua ibu jari yang terusik dari kediamannya ketika terinjak pijakan kaki sang guru, tidak segan untuk mengigit dan mengeluarkan bisa mematikannya.

"Kalau malam datang dan belum sampai di tempat tujuan maka saya harus menginap di hutan tapakulintang dengan segala risiko bahaya yang mengintai," ujarnya. (lix)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved