Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu

Pengembangan Pertanian, Harga atau Laba

Krisis pangan merupakan problem besar dunia saat ini. Menurut Organisasi Pangan Dunia, indeks harga pangan global

Editor: Andrew_Pattymahu


Oleh : DR. Agus Tony Poputra
Regional Chief Economist BNI 46 Wilayah Manado

Krisis pangan merupakan problem besar dunia saat ini. Menurut Organisasi Pangan Dunia, indeks harga pangan global Pebruari 2011 mencapai 236 poin yang merupakan rekor tertinggi baru setelah rekor  Juni 2008 yang berada pada posisi 213,5.

Krisis pangan ke depan diperkirakan semakin parah, sebab persoalannya tidak hanya dari sisi “permintaan” karena pertambahan penduduk dunia yang cukup tinggi, namun juga dari sisi “penawaran” yang disebabkan oleh perubahan iklim yang semakin tidak menentu.

Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara yang luas dan subur seharusnya memiliki ketahanan pangan yang kuat serta dapat mengambil peranan penting dalam memasok pangan dunia. Tetapi kenyataannya, dalam kondisi normalpun Indonesia kesulitan mencapai swasembada pangan.

Ini merupakan suatu paradoks yang menimbulkan tanda tanya besar mengenai reliabilitas atau keandalan kebijakan pengembangan pertanian Indonesia. Pengembangan sektor pertanian, baik dalam rangka ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, dan peningkatan kondisi perekonomian lebih banyak dikaitkan dengan masalah harga komoditas.

Persepsi harga komoditas  sebagai pemicu utama semangat petani untuk bertani merupakan suatu persepsi yang menyesatkan (misleading) namun telah diterima oleh kebanyakan pihak terutama petani sebagai suatu kebenaran “tunggal,” padahal harga komoditas domestik sangat dipengaruhi oleh harga dunia yang tentu saja sulit dikendalikan.

Contoh terbaik mengenai hal ini adalah Thailand dan Vietnam.  Walau harga beras di dua Negara tersebut  bisa dijual dengan harga lebih murah disbanding Indonesia namun petani di sana tetap berproduksi bahkan menguasai beras dunia, bahkan komoditas-komoditas pertanian yang lain.

Kondisi di Vietnam dan Thailand tersebut dibangun oleh suatu pola pikir yang benar, yaitu bahwa yang menjadi sasaran dalam kegiatan usaha apapun termasuk pertanian adalah memaksimumkan laba.  Komponen pembentuk laba adalah pendapatan dan biaya, bukan sekedar harga jual yang hanya merupakan salah satu komponen pembentuk pendapatan, di samping volume penjualan.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa harga komoditas sangat sulit dikendalikan. Dengan demikian, peningkatan laba lewat komponen harga sangatlah sulit dikendalikan hasilnya,  bahkan pada kondisi ekstrim di mana pemerintah melakukan penjaminan harga jual, akan menyebabkan angka subsidi pemerintah dapat menjadi sangat besar dan sulit diprediksi nilainya.

Langkah terbaik untuk meningkatkan laba petani adalah lewat peningkatan volume produksi dan penurunan biaya.  Keduanya dapat dicapai lewat peningkatan produktivitas pertanian.
Bantuan pemerintah kepada petani dalam bentuk bibit, pupuk, dan sebagainya yang dikenal dengan “saprodi” adalah suatu kebijakan tepat untuk menurunkan biaya produksi petani dan meningkatkan produktivitas.

Namun kebijakan tersebut sering tidak berkelanjutan, bahkan dalam kebanyakan kasus hanya menjadi komoditas politik menjelang pemilu, pilpres, dan pilkada. Selain kelemahan yang berkaitan dengan kesinambungan program ataupun kebijakan, terdapat juga banyak kelemahan lainnya yang berkaitan dengan penerapannya.

Pertama, kurangnya koordinasi antar tingkatan pemerintahan, bahkan lintas satuan kerja pada tingkatan pemerintahan yang sama. Ini mengakibatkan bantuan tidak tersebar dengan baik dan terjadi tumpang tindih bantuan. Kelemahan ini dapat diatasi lewat political will dan komitmen yang tinggi dari pengambil keputusan.

Kedua, kebanyakan bantuan pemerintah bersifat tidak bersyarat (unconditional aid) yaitu kebanyakan bantuan tidak didahului oleh supervisi mengenai kelayakan penerima bantuan. Selain itu, tidak dilakukan supervisi sesudahnya terhadap penggunaan bantuan tersebut.

Cara ini secara tidak langsung dapat membentuk mentalitas ataupun karakter yang tidak bertanggung jawab di kalangan petani karena perlu mempertanggungjawabkan bantuan yang diterima. Mentalitas atau karakter ini terbawa pada hal-hal yang lain, di antaranya memacetkan kredit  bank terutama bila kredit tersebut ada embel-embel program pemerintah sehingga kredit bermasalah 

pada sektor pertanian di Indonesia relatif tinggi walaupun disadari faktor lain juga berpengaruh, seperti karakteristik komoditi pertanian yang sangat berisiko.

Untuk mengatasi masalah ini, maka bantuan yang diberikan ke sektor pertanian seharusnya berbentuk bantuan bersyarat (conditional aid) di mana penerima adalah benar-benar memiliki lahan atau mengolah lahan di mana dibuktikan lewat supervisi lapangan sebelumnya. Selanjutnya, saat menerima bantuan, petani wajib membuat pernyataan tertulis untuk mengembalikan bantuan seandainya hasil supervisi sesudahnya memperlihatkan bantuan tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aib untuk Like

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved