Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kasus Dana Hibah GMIM

Kuasa Hukum Terdakwa Steve Kepel Tegaskan Kliennya Tidak Ada Peran dalam Pencairan Dana Hibah GMIM

Febri Tri Hariyada, kuasa hukum Steve Kepel mengatakan, dalam sidang terbukti bahwa kliennya tidak memiliki peran dalam pencairan dana hibah.

|
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Frandi Piring
Arthur Rompis/TribunManado.co.id
SIDANG - Suasana sidang kedua kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemprov Sulut ke GMIM yang berlangsung di ruang sidang Prof Dr Muhammad Hatta Ali SH MH, Jalan Prof. Dr. Mr. Raden Soelaiman Efendi Koesoemah Atmadja, Pengadilan Negeri Manado, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Rabu (10/9/2025). Dalam persidangan tersebut, Febri Tri Hariyada, kuasa hukum Steve Kepel mengatakan, dalam sidang terbukti bahwa kliennya tidak memiliki peran dalam pencairan dana hibah. 

Hein Arina juga turut menandatangani Surat Pernyataan Tanggung Jawab Penggunaan Hibah Uang Tahun 2020 dan Pakta Integritas pada momen yang sama.

Dana hibah tersebut rencananya digunakan untuk pembangunan RS GMIM Siloam Sonder, fasilitas di Kaupusan Langowan, Tonsea Airmadidi, Jemaat Bukti Sion Kanonang, serta sarana-prasarana lain.

Sehari setelahnya, 22 Desember 2020, administrasi pencairan dilengkapi oleh sejumlah pejabat terkait hingga akhirnya BKAD Sulut menerbitkan SP2D senilai Rp1,5 miliar dan langsung ditransfer ke rekening Sinode GMIM di Bank SulutGo.

Tapi, jaksa menyebut bahwa Hein Arina tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut. 

Hingga batas waktu yang ditentukan, Sinode GMIM tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban resmi ke BKAD Provinsi Sulut.

Situasi ini membuat saksi-saksi dari BKAD, di antaranya Jeffry Robby Korengkeng, Melky W. Matindas, dan Ferny Karamoy, mendatangi Sinode GMIM untuk meminta klarifikasi. 

Saat itu, Hein Arina menyampaikan bahwa laporan pertanggungjawaban tidak bisa dibuat sesuai mekanisme resmi, melainkan hanya disesuaikan dengan penggunaan dana oleh Sinode GMIM.

Laporan pertanggungjawaban yang kemudian dibuat Sinode GMIM antara lain berupa surat permohonan pencairan hibah tahap I dan II serta lembar laporan penggunaan dana hibah Rp1,5 miliar. 

Namun, jaksa menilai laporan tersebut tidak sesuai dengan NPHD maupun pakta integritas yang telah ditandatangani.

Lebih jauh, persidangan juga mengungkap bahwa BKAD tidak pernah melakukan evaluasi mendalam terhadap pertanggungjawaban dana hibah dari Sinode GMIM

Sementara, Hein Arina sebagai penerima hibah dinilai secara melawan hukum tidak merealisasikan dana hibah sesuai peruntukan yang diajukan.

Pengacara Hein Arina Bantah Sang Klien Lakukan Korupsi

Sebelum sidang perdana kasus ini, Franklin Montolalu selaku kuasa hukum Hein Arina menerangkan tentang penitipan barang bukti uang tunai senilai Rp 5,2 miliar terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kepada Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Tahun Anggaran 2020 hingga 2023.

Franklin menjelaskan, penyerahan uang tersebut adalah niat baik GMIM dan pihak keluarga kliennya untuk mendukung proses penegakkan hukum oleh Polda Sulut.

"Ini untuk mendukung proses hukum," kata advokat asal Sulut ini kepada TribunManado.co.id via WA pada Rabu (27/8/2025), dua hari sebelum sidang perdana, Jumat (29/8/2025).

Franklin menegaskan tak ada uang yang masuk ke rekening kliennya atau dikorupsi.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved