Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tragedi Ponpes Al Khoziny

Tragedi di Sidoarjo Ungkap Fakta Mengejutkan: 99 Persen Ponpes Indonesia Tak Berizin Layak Bangunan

Apa yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, mengungkap fakta yang mengejutkan.

Editor: Rizali Posumah
Tribun Jatim/M Taufik  
TRAGEDI PONPES SIDOARJO - Petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo saat berusaha melakukan evakuasi di area bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur, yang roboh, Senin (29/9/2025) sore. Tragedi yang menewaskan puluhan santri ini, menjadi sorotan sekaligus peringatan akan pentingnya kepatuhan izin kelayakan bangunan di institusi pendidikan agama. 

TRIBUN,MADO.CO.ID - Apa yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, mengungkap fakta yang mengejutkan. 

Tragedi ambruknya mushala tiga lantai di pesantren tersebut pada Senin (29/9/2025) yang menewaskan puluhan santri, menjadi sorotan sekaligus peringatan akan pentingnya kepatuhan izin kelayakan bangunan di institusi pendidikan agama.

Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, mengungkap data yang sangat mengkhawatirkan.

“Di seluruh Indonesia Raya hanya 50 ponpes yang memiliki izin mendirikan bangunan, yang lain belum,” kata Dody Hanggodo, dikutip Kompas.com, Minggu (5/10/2025).

Dari total 42.433 pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag) periode 2024/2025, hanya sekitar 50 pesantren saja yang tercatat telah mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

Ini artinya, mayoritas atau lebih dari 99 persen institusi yang dihuni puluhan ribu santri, beroperasi tanpa jaminan sertifikasi kelayakan bangunan dari pemerintah.

PBG sendiri merupakan pengganti dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Fungsinya krusial: memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan dan kelayakan teknis.

TRAGEDI PONPES AL KHOZINY - Suasana saat Petugas SAR Gabungan mengevakuasi korban reruntuhan bangunan Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (30/9/2025). 
TRAGEDI PONPES AL KHOZINY - Suasana saat Petugas SAR Gabungan mengevakuasi korban reruntuhan bangunan Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (30/9/2025).  (SAR Surabaya via KOMPAS.com)

Kompleksitas Birokrasi dan Lemahnya Koordinasi

Menteri Dody Hanggodo mengakui adanya kompleksitas birokrasi yang melingkupi persoalan ini.

Kewenangan PBG berada di bawah Pemerintah Daerah (Pemda), sementara operasional pesantren di bawah Kemenag.

“Harusnya semua pesantren memiliki izin. PBG ini kewenangannya ada di Pemda, tapi kita perlu koordinasi antara Kemendagri dan Kemenag, karena ponpes di bawah Kemenag,” jelas Dody.

Kelalaian fatal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pengelola pesantren semata.

Ini juga menunjukkan lemahnya koordinasi dan sosialisasi antara kementerian terkait untuk memastikan standar keselamatan diterapkan di seluruh lembaga pendidikan agama.

Menyusul tragedi Al Khoziny, Kementerian PU akan bergerak cepat. Setelah masa tanggap darurat di Sidoarjo selesai, Kementerian PU akan segera berkoordinasi dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan tindakan masif.

Fokus utamanya adalah sosialisasi mendalam kepada Pemda dan seluruh pondok pesantren guna mendorong kepengurusan PBG dan sertifikasi laik bangunan.

Gagal Konstruksi Bukan Takdir

Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Sudjatmiko, menyoroti ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny sebagai peringatan keras atas lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia.

Ia menegaskan bahwa peristiwa tragis tersebut bukan sekadar musibah, tetapi menunjukkan kegagalan sistemik dalam penerapan standar teknis pembangunan.

“Tragedi ini bukan hanya peristiwa duka yang menelan korban, melainkan juga peringatan keras mengenai lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia,” kata Sudjatmiko dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (5/10/2025).

Menurutnya, dalam disiplin teknik sipil, sebuah bangunan tidak akan runtuh secara tiba-tiba jika seluruh tahapan pembangunan dilakukan sesuai prinsip perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan yang benar.

Ia menegaskan, nyawa manusia tidak boleh lagi melayang hanya karena kelalaian teknis.

“Ambruknya bangunan sering kali buru-buru dilabeli sebagai takdir. Padahal, dalam banyak kasus, penyebab utama justru kegagalan konstruksi,” katanya.

Empat Faktor Utama Kegagalan Konstruksi

Sudjatmiko menjelaskan sejumlah faktor yang kerap menyebabkan kegagalan bangunan, terutama pada lembaga pendidikan berbasis komunitas seperti pesantren:

  • Perencanaan Struktur Lemah: Banyak bangunan dibangun tanpa melibatkan tenaga ahli teknik sipil.
  • Material Tidak Standar: Penggunaan material (baja tulangan, semen, pasir) sering diganti demi menekan biaya.
  • Minimnya Pengawasan: Banyak proyek tidak diawasi oleh insinyur bersertifikat.
  • Abaikan Kondisi Tanah: Bangunan tidak didesain sesuai karakteristik lahan, padahal area seperti Sidoarjo memiliki kontur tanah lunak yang membutuhkan pondasi kuat dan desain khusus.

“Sidoarjo, misalnya, memiliki kontur tanah yang sebagian berupa tanah lunak. Tanah jenis ini membutuhkan pondasi kuat dan desain khusus. Tanpa kajian geoteknik, bangunan bisa amblas atau miring sebelum waktunya,” ucapnya.

Sudjatmiko menekankan bahwa runtuhnya gedung secara mendadak menandakan adanya kesalahan serius sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan.

“Konstruksi pendidikan atau keagamaan seperti pesantren punya beban sosial besar. Setiap kesalahan teknis bukan sekadar bangunan roboh, tapi juga soal nyawa manusia,” ujarnya.

Enam Langkah Mitigasi untuk Pesantren

Tragedi Al Khoziny, menurut Sudjatmiko, harus menjadi pelajaran penting bagi ratusan pesantren lain. Ia mendesak semua pembangunan fasilitas pendidikan keagamaan mematuhi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Ia menawarkan enam langkah mitigasi yang harus segera dilakukan:

  • Libatkan Ahli: Perhitungan struktur dan pondasi wajib mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI).
  • Standar Mutu: Tetapkan standar mutu bahan bangunan sesuai SNI 1726:2019 (ketahanan gempa).
  • Audit Kelayakan: Lakukan audit kelayakan bangunan, terutama pesantren yang menampung ratusan santri.
  • Regulasi Tegas: Penegakan IMB/PBG dan pengawasan profesional harus lebih ketat.
  • Edukasi dan Sosialisasi: Pesantren perlu diedukasi tentang pentingnya keselamatan konstruksi.
  • Dana Khusus: Siapkan dana khusus renovasi dan standarisasi melalui bantuan pemerintah.

"Kesadaran bahwa bangunan aman adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual harus ditanamkan di lingkungan pesantren,” katanya.

Sudjatmiko berharap tragedi di Sidoarjo menjadi pelajaran akan pentingnya perubahan tata kelola pembangunan fasilitas pendidikan.

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Baca berita lainnya di: Google News

WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini

SUMBER; TRIBUNNEWS.COM

 

 

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved