Tragedi Ponpes Al Khoziny
Tragedi di Sidoarjo Ungkap Fakta Mengejutkan: 99 Persen Ponpes Indonesia Tak Berizin Layak Bangunan
Apa yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, mengungkap fakta yang mengejutkan.
Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Sudjatmiko, menyoroti ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny sebagai peringatan keras atas lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa peristiwa tragis tersebut bukan sekadar musibah, tetapi menunjukkan kegagalan sistemik dalam penerapan standar teknis pembangunan.
“Tragedi ini bukan hanya peristiwa duka yang menelan korban, melainkan juga peringatan keras mengenai lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia,” kata Sudjatmiko dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (5/10/2025).
Menurutnya, dalam disiplin teknik sipil, sebuah bangunan tidak akan runtuh secara tiba-tiba jika seluruh tahapan pembangunan dilakukan sesuai prinsip perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan yang benar.
Ia menegaskan, nyawa manusia tidak boleh lagi melayang hanya karena kelalaian teknis.
“Ambruknya bangunan sering kali buru-buru dilabeli sebagai takdir. Padahal, dalam banyak kasus, penyebab utama justru kegagalan konstruksi,” katanya.
Empat Faktor Utama Kegagalan Konstruksi
Sudjatmiko menjelaskan sejumlah faktor yang kerap menyebabkan kegagalan bangunan, terutama pada lembaga pendidikan berbasis komunitas seperti pesantren:
- Perencanaan Struktur Lemah: Banyak bangunan dibangun tanpa melibatkan tenaga ahli teknik sipil.
- Material Tidak Standar: Penggunaan material (baja tulangan, semen, pasir) sering diganti demi menekan biaya.
- Minimnya Pengawasan: Banyak proyek tidak diawasi oleh insinyur bersertifikat.
- Abaikan Kondisi Tanah: Bangunan tidak didesain sesuai karakteristik lahan, padahal area seperti Sidoarjo memiliki kontur tanah lunak yang membutuhkan pondasi kuat dan desain khusus.
“Sidoarjo, misalnya, memiliki kontur tanah yang sebagian berupa tanah lunak. Tanah jenis ini membutuhkan pondasi kuat dan desain khusus. Tanpa kajian geoteknik, bangunan bisa amblas atau miring sebelum waktunya,” ucapnya.
Sudjatmiko menekankan bahwa runtuhnya gedung secara mendadak menandakan adanya kesalahan serius sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan.
“Konstruksi pendidikan atau keagamaan seperti pesantren punya beban sosial besar. Setiap kesalahan teknis bukan sekadar bangunan roboh, tapi juga soal nyawa manusia,” ujarnya.
Enam Langkah Mitigasi untuk Pesantren
Tragedi Al Khoziny, menurut Sudjatmiko, harus menjadi pelajaran penting bagi ratusan pesantren lain. Ia mendesak semua pembangunan fasilitas pendidikan keagamaan mematuhi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Ia menawarkan enam langkah mitigasi yang harus segera dilakukan:
- Libatkan Ahli: Perhitungan struktur dan pondasi wajib mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI).
- Standar Mutu: Tetapkan standar mutu bahan bangunan sesuai SNI 1726:2019 (ketahanan gempa).
- Audit Kelayakan: Lakukan audit kelayakan bangunan, terutama pesantren yang menampung ratusan santri.
- Regulasi Tegas: Penegakan IMB/PBG dan pengawasan profesional harus lebih ketat.
- Edukasi dan Sosialisasi: Pesantren perlu diedukasi tentang pentingnya keselamatan konstruksi.
- Dana Khusus: Siapkan dana khusus renovasi dan standarisasi melalui bantuan pemerintah.
"Kesadaran bahwa bangunan aman adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual harus ditanamkan di lingkungan pesantren,” katanya.
Sudjatmiko berharap tragedi di Sidoarjo menjadi pelajaran akan pentingnya perubahan tata kelola pembangunan fasilitas pendidikan.
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca berita lainnya di: Google News
WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini
SUMBER; TRIBUNNEWS.COM
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.